Kaya Budaya Baca Miskin Daya Baca

0
1286
- Advertisement -

Kolom Ruslan Ismail Mage

Berdasarkan data geografis, Indonesia masuk 15 besar negara terluas wilayahnya dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia. Karena itu, tidak mengherankan kalau bumi nusantara pernah melahirkan beberapa pemimpin besar nan tangguh yang tidak hanya mampu memerdekakan bangsanya, tetapi juga mampu menggoncangkan dunia dengan pemikiran-pemikiran tajamnya setajam silet.

Sebut misalnya tiga serangkai arsitek kebangsaan Indonesia Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Ketiganya pemimpin bangsa yang sangat disegani dunia di jamannya. Lebih menariknya lagi mereka memiliki resep sama yang membuatnya menjadi pemimpin besar bangsa. Resep utamanya adalah memiliki “daya baca” sangat tinggi. Tingkat daya jelajahnya dari buku satu ke buku yang lainnya tak terbendung. Taman rekreasi jiwanya sehabis menguras pikiran merumuskan strategi memerdekakan bangsanya adalah ruang baca ditemani berbagai ragam buku. Dari ruang baca yang dibatasi dinding itulah pikiran mereka menjelajah menembus batas ruang dan waktu. Ketiganya menganggap membaca buku sebagai kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggal. Terbukti kemudian, lewat asupan buku, pemikiran mereka menghasilkan ide-ide cemerlang memerdekakan bangsanya.

Hingga memasuki usia 75 tahun kemerdekaan bangsanya, ibu pertiwi belum mampu lagi melahirkan pemimpin sebesar, sehebat, setangguh, sepintar, secerdas, sevisioner Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh bangsa lainnya era pergerakan. Pertanyaan kemudian yang wajib dikedepankan adalah, kenapa pasca proklamasi, bangsa kaya dan besar ini terus mengalami defisit kepemimpinan tangguh setangguh para arsitek kemerdekaan?

Menjawab pertanyaan ini tidak segampang menjawab soal matematika yang sudah memiliki rumus. Harus memiliki acuan atau data-data riset. Karena itu, menjawabnya mencoba memakai pemikiran Michael Hyatt, seorang penulis, pembicara, trainer di pengembangan diri dan profesi terkenal dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa, “krisis membaca adalah krisis kepemimpinan, semakin sedikit orang suka membaca, semakin sedikit pemimpin tangguh lahir.”

- Advertisement -

Pertanyaan berikut yang mengikutinya, benarkah Indonesia terjadi krisis membaca? Untuk menjawabnya lagi-lagi tidak bisa asal bunyi, butuh data riset untuk mempertegasnya. Menurut data Most Littered Nation In the World yang dikeluarkan UNESCO tahun 2016, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Artinya kalau menggunakan pendapat Michael Hyatt dan data UNESCO ini, dapat disimpulkan bahwa, terjadinya defisit kepemimpinan tangguh di Indonesia itu disebabkan karena daya baca orang Indonesia sangat rendah.

Sipil Institute menyebutnya, “Indonesia pada dasarnya memiliki budaya baca tinggi, yang rendah adalah DAYA bacanya”. Datanya dari mana? Coba kita lihat alasan pembenar berikut ini. Dilansir The Next Web, Selasa (24/4/2018), Indonesia bertengger diurutan ketiga dunia pengguna media sosial Facebook dan Twitter. (1. India : 270 juta, 2. Amerika Serikat : 240 juta, dan 3. Indonesia : 140 juta).

Data ini menunjukkan 140 juta pengguna media sosial di Indonesia sudah pasti setiap hari, bahkan setiap jam dan menit membaca tulisan status atau komentar di media sosial. Kebiasaan membaca tulisan status yang pendek-pendek di media sosial itu menjustifikasi orang Indonesia memiliki budaya baca tertinggi ketiga di dunia. Namun di sisi lain sangat rendah daya bacanya, kerena malas membaca buku, sebagaimana data UNESCO di atas. Artinya, yang perlu dilakukan pejuang literasi sekarang bukan lagi gerakan gemar membaca, tetapi gerakan meningkatkan daya baca. Penduduk negeri ini sudah kaya budaya baca tetapi miskin daya baca.

Penulis : Akademisi, inspirator dan penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here