Karakter itu Permanen Tidak Bisa Dicitrakan

0
146
- Advertisement -


Oleh Ruslan Ismail Mage

Karakter itu permanen yang bertumbuh sejak lahir dari lingkungan keluarga dan sosialnya, yang kemudian mengakar menjadi tabiat yang melekat pada jiwa seseorang. Jadi karakter yang sudah terbentuk itu tidak akan berobah di posisi manapun berada. Kalau karakter alaminya rendah hati, memeluk kemanusiaan, dan merangkul perbedaan status, posisi ditingkatan kepemimpinan manapun berada, tidak akan berobah karakter itu. Sebaliknya kalau karakternya potensi tinggi hati, arogan, mau menang sendiri, cenderung abai nilai humanisme, lebih kedepankan ke’aku’annya, itu juga yang akan mewarnai tindakannya ketika menduduki posisi kepemimpinan.

Hal inilah yang disebut karakter merakyat tidak bisa dicitrakan, karena disitu zona konsistensi sikap, integritas, tanggungjawab, moralitas, ketulusan, dan keikhlasan. Bukan zona spontanitas, kepentingan, target, apalagi politik. Terlebih satu dasawarsa terakhir rakyat banyak mengalami proses pencerdasan secara alami lewat guru pengalamannya, sehingga bisa membedakan mana karakter alami dan mana karakter pura-pura.

Untuk menjustifikasi ini, kita pinjam “teori solidaritas masyarakat” Ibnu Khaldun yang merupakan pengembangan dari “teori harmoni” yang mengajarkan, “Kelaziman saling melindungi dan mengembangkan potensi serta saling mengisi dan membantu di antara sesama.” Kalau memperhatikan teori solidaritas masyrakat ini, hanya bisa dimaksimalkan pengejawantahannya dalam kehidupan masyarakat oleh pemimpin yang memiliki karakter alami merakyat memeluk dan merangkul sesama tampa melihat status dan latar belakangnya.

Bahasa non verbal yang ditampilkan Bupati Pesisir Selatan Drs. Rusma Yul Anwar, M.Pd dalam gambar di atas, sesungguhnya menyampaikan pesan, “Pemimpin merakyat itu tidak bisa dicitrakan, butuh konsistensi membuang jarak dengan rakyat, tidak menempatkan rakyat sebagai obyek untuk diceramahi tetapi sebagai sahabat untuk didengarkan keluhannya, masukannya, dengan bahasa rakyat sendiri.”

- Advertisement -

Gambar sang bupati memeluk sambil bercanda meninju perut sahabatnya ini terjadi ketika monitoring sawah di Mudiak Kecamatan Ranah Pesisir Kenagarian Pelangai. Sahabat bupati itu bercerita tentang harga pupuk dan obat untuk pertanian dan sawah tadah hujan. Ia meminta pemerintah jangan pernah lupa rakyat kecil dan memperhatikan kebutuhan kami, khususnya para petani. Bupati menjawab siap sambil bercanda, “lai alun kempes paruik uda do, mamantun tinju ambo dibueknyo”.

Begitulah karakter, gaya, dan bahasa sederhana seorang pemimpin yang tulus dan konsisten merakyat memasuki ruang-ruang jiwa rakyatnya, dan menghilangkan jarak dengan rakyatnya. Inilah bagian yang dimaksud teori solidaritas masyarakat Ibnu Khaldun. Benar kata Mahatma Gandhi, “Kepemimpinan berarti merangkul orang-orang”. Bahasa tubuh sang bupati kepada sahabatnya itu juga mendapat pembenaran dari Stephen R. Covey, penulis buku best seller asal Amerika Serikat yang mengatakan, “Apa yang kamu lakukan secara sederhana memiliki dampak jauh lebih besar daripada apa yang kamu katakan”.

Penulis, Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan kepeminpinan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here