Idul Qurban, sumber Inspirasi Kemanusiaan Masa Depan

0
344
- Advertisement -

Kolom Dr. H.M Amir Uskara

Idul Qurban mempunyai makna yang sangat dalam. Yaitu: hidup adalah sebuah “pengurbanan” untuk manusia lain demi cinta survivalitas kemanusiaan.

Ketika Nabi Ibrahim bermimpi agar putranya, Ismail, dikurbankan (baca: disembelih) — sejatinya, Allah sedang menguji Ibrahim — sejauh mana keikhlasan Sang Khalilullah berkurban untuk masa depan umat manusia.

Allah yang menghargai kehidupan tidak mungkin meminta Ibrahim untuk membunuh anaknya dalam realitas. Pastilah perintah itu bersifat spiritual. Dan saat itu, Ibrahim tak berpikir panjang — sami’na wa ato’na — terhadap titah Allah melalui mimpi itu.

Sebagai orang beriman, Ibrahim selalu berpikir positif terhadap perintah Tuhannya. Bagaimana what nex-nya dari perintah itu, meski sepintas amat kejam (membunuh anak), Ibrahim tak peduli. Kenapa? Karena niscaya perintah Allah dalam bentuk apa pun merupakan “ujian” yang bila lulus, hasilnya positif.

- Advertisement -

Ibrahim benar. Ketaatan kepada perintah Allah tanpa reserve itu membuahkan tiga hasil positif. Pertama, Ibrahim diangkat kemuliaannya lebih tinggi oleh Allah karena ketaatan totalnya itu.

Kedua, Ibrahim mampu melepaskan “kemelekatan” atau unbinding terhadap sesuatu yang selain Allah. Keduanya, adalah keberhasilan Ibrahim secara vertikal. Dalam hal ini, keberhasilan Ibrahim dalam membuktikan keimanannya secara total kepada Allah.

Sedangkan keberhasilan ketiga adalah ketaatan untuk berkorban demi kemanusiaan. Dalam hal ini pelajaran “qurban” tersebut adalah pembentukan karakter manusia agar rela berkurban untuk sesama manusia tanpa melihat agama, suku, dan warna kulit.

Berkurban — pinjam istilah Neale Donald Walsch dalam bukunya yang fenomenal Conversation with God — adalah basis hubungan manusia masa depan. Di era kapitalis seperti sekarang, hubungan relasional manusia adalah bagaimana “mendapat” sesuatu dari orang lain (to take).

Pertanyaan standarnya: jika kita bekerja untuk orang lain, apa yang kita dapat dari orang lain tersebut. Mendapatkan atau to take adalah basis relasional hubungan antar-manusia.

Tapi dalam Idul Qurban, Allah menunjukkan kepada kita — bahwa basis relasional hubungan antarmanusia bukanlah saling mendapatkan (to take). Melainkan saling memberikan (to give). Dalam refleksi Idul Qurban, adalah sejauh mana kita mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Landasannya adalah to give. Bukan to take.

Dalam kehidupan praktis, antara mendapatkan (to take) dan memberikan (to give) mungkin hasil akhirnya sama. Karena interaksi manusia dengan manusia lain tujuannya adalah menjaga survivalitas kehidupan. Menjaga keadilan.

Akan tetapi, bila basisnya “berkurban” atau to give — maka yang terjadi hubungan antarmanusia itu akan lebih beradab dan bernilai spiritual.

Dalam konteks inilah Nabi Muhammad menyatakan, sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain (to give). Arti bermanfaat adalah “memberi” sesuatu yang menghidupkan. To give something needed for human.

Jelas ini berbeda dengan manusia yang hidup berbasis kapitalis. Karena moto hidupnya, bagaimana mendapatkan sesuatu dari orang lain (to take).

Dalam ilmu neurosains mutakhir, misalnya, ditemukan fakta bahwa memberi sesuatu yang membahagiakan orang lain, imbasnya akan memberikan kebahagiaan yang lebih kepada si pemberi. Itu dari sisi neurosains.

Dari aspek sunnatullah atau hukum keseimbangan, sang pemberi niscaya akan mendapatkan sesuatu yang setimpal atau lebih dari alam semesta. Bahkan Alquran menyatakan, orang yang memberi atau berderma sesuatu kepada orang lain, akan mendapat imbalan 70 kali lipat dari apa yang diberikannya (Surat Al-Baqarah 261).

“Hukum memberi akan mendapatkan imbalan yang lebih” baik secara hartawi maupun ukhrowi (baca: secara material maupun spiritual) kini sudah menjadi gerakan di negara-negara maju. Lihat, orang superkaya Bill Gates — pendiri Microsoft Co. — sudah menghibahkan 90 persen sahamnya untuk kegiatan amal dan filantropi. Hasilnya perusahaan Bill Gates terus berkembang. Dan dia merasa bertambah kebahagiaannya dari hari ke hari.

Hal yang sama dilakukan Waren Buffet, orang superkaya lainnya dari Amerika. Ia pun menghibahkan sebagian besar hartanya untuk amal dan filantropi dalam rangka membantu program kemanusiaan.

Dari aspek itulah, kenapa Idul Qurban mempunyai makna sangat penting. Yaitu menggedor hati nurani manusia, bahwa berkurban untuk sesama manusia adalah sebuah tindakan yang positif, menguntungkan, membahagiakan dan menyelamatkan umat manusia.

Dengan demikian hari raya qurban merupakan inspirasi untuk membangun kemanusiaan masa depan. Itulah makna di balik Hari Raya Idul Qurban. Allahu Akbar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here