I Midah Gadis Kampung La Toppo

0
1271
- Advertisement -

Cerpen Fiam Mustamin

SESUATU yang indah selalu dikenang di masa kecil dan remaja di kampung.

Masa prasekolah di masa pergolakan pengacauan pemberontakan gerombolan yang menamakan diri Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) Kahar Muzakkar di tahun 1960 an.

Di usia kecil itu, sudah ada ingatan bila mendengar ada suara tembakan, kami semua serumah bergegas turun ke kolong rumah panggung masuk ke lubang tarap bertumpuk menghindari kalau-kalau ada peluru yang menyasar.

Setiap rumah memiliki lubang (kalebbong) yang dipersiapkan untuk berlindung satu keluarga.

- Advertisement -

Suara tembakan itu balas membalas antara tentara yang menjaga kampung dengan gerombolan yang hendak memasuki kampung.

Tujuannya untuk merampas harta benda berharga dan menculik wanita yang akan dijadikan modal untuk tebusannya.

Kampung saya ( la Rustang ) di Kampong Baru dan kampong sekitarnya dipagari bambu dengan menancapkan potongan bambu runcing namanya Sura untuk penghalau gerombolan supaya tidak leluasa masuk kampong terutama di malam hari.

Dan di sore hari menjelang Magrib, semua pintu pagar sudah ditutup dengan palang dan kunci gembok.

Dengan kondisi yang tidak aman seperti itu, rakyat tidak leluasa keluar menggarap ladang dan sawahnya.

Rakyat bertahan hidup dengan sangat prihatin makannya dengan nasi yang dicampur umbi-umbian, jagung, pisang muda dan buah sukun namanya Nanre Pulek.

Lauknya dengan garam dicampur cabe/ ladang dan minyak kelapa/boka bila tidak ada tangkapan ikan di sungai dan empang di sawah.

Di masa-masa sulit itu, sekolah tetap dibuka. Anak-anak datang ke sekolah dengan pakaian apa adanya tanpa alas kaki.

Perkakas sekolah yang dibawa buku tulis, papan batu tulis dan pensilnya untuk pelajaran hitungan, pena kalam dari lidi pohon enau dan tinta untuk menulis di buku.

Di sekokah itu kami sangat menghormati guru dan saling menyayangi sesama murid.

Turunan Leluhur

MEMASUKI usia dewasa mulai banyak bertanya kepada orang tua yang dituakan di kampong dusebut Matoa dan Pung Kepala bila ia menjabat Kepala Kampong, sebutan Kepala Desa saat ini.

Pihak ayah dalam rumpun turunan penguasa kerajaan di wilayah pegunungan yang disebut wanua Se ring.

Turunannya sampai ke wilayah Soppeng Riaja; Bira, Lapao, Balusu, Wiring Tasi, Mangkoso dan Takkalasi.

Kemudian daerah perbukitan La Toppo itu masih dalam wiayah Tajuncu yang dibatasi oleh sungai, muasal dari keluara ibu yang menjadi kepercayaan pengamanan keluarga datuk/arung Watanlipue.

Boleh dibilang tomarilaleng suro mateppenna arungnge.

Orang yang yang selalu berada di sekitar arung untuk segala urusan dalam kepemimpinan warga di daerah kedatuan yang dinaunginya.

Kawin Lari

KAWIN lari dikenal dengan silariang sangat dihindari bagi etnis Bugis Makassar apapun itu alasannya.

Perbuatan kawin lari (minggat) mengandung aib, menjadi Siri na Pesse bagi keluarga perempuan untuk memulihkannya.

Apakah harus berakhir dengan penyelesaian kematian …

Adakah jalan lain dari itu, tidak menjadi harga mati, tak ada pertimbangan kemanusiaan …

I Midah, putri I Mina tidak mendapat restu dari keluarganya untuk menerima pinangan dari kekasihnya (cangringna) untuk kawin dengan lelaki pilihannya, La Base sang putera tunggal Matoa Pung Kepala almarhum.

I Mina, janda beranak 1 prempuan dan 1 laki laki, teman sekekas la Rustang di Sekokah Ralyat dulu.

I Mina sudah yatim dari kecil, dan selepas sekolah dibawa merantau mengikuti pamannya ke Kalimantan.

Di perantauan itu I Minah menikah dengan orang Bugis asal sekampong dan beranak dua.

Suaminya meninggal ketika kedua anaknya masih remaja.

Balik ke kampung atas ajakan La Rustang yang menaruh minat dengan wanita yamg berkulit putih, berambut ombak dan murah senyum itu … ketika sama sama sekelas di sekolah dulu.

la Rustang yang juga telah yatim dari kecil berpindah pindah sekolah mengikuti keluarga guru sekolah yang berbaik hati mendidiknya sampai ke SMP di kota Watansoppeng.

Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke Makassar dengan kebaikan hati keluarga dan orang-orang yang dijumpainya.

Ia tau diri sebagai anak yatim yang tidak mempunyai kemampuan finansial untuk melanjutkan pendidikannya.

Oleh karena itulah ia harus berperilaku menyenangkan dan ringan tangan bekerja apa saja di tempat dimana pun ia berada.

Segala macam dikerjakan seperti belanja ke pasar, memasak, mencuci dan menggosok pakaian serta membersihkan rumah.

Karena itu, ia disayangi keluarga yang ditumpanginya dan teman-teman sebaya umurnya.

Apa yang dilakukannya itu iya mengingat cerita orang tentang kedua orangtuanya.

Orang-orang itu mengatakan bahwa Bapak dan Ibunya menyenangkan rajin dan Magala Saro Mase yang artinya ringan tangan membantu suatu pekerjaan tanpa nenunggu diminta.

La Rustang mengingat semua itu yang telah menjadi bekal hidupnya belajar di kota dengan berbagai lingkungan pergaulan.

Kemudian hari La Rustang pulang ke kampung karena selalu mengingat masa masa kecilnya, kampung yang sering dikunjungi bersama ayahnya, tempat tempat bermain dan makanan kesukaannya yang tidak ditemukan di tempat lain.

la ingat dan rindu dengan suasana puasa dan tarwih ramadan, takbiran dan lebaran, 17 Agustusan dengan lomba tari tambang dan panjat pinang.

Membajak sawah, menanam dan menjaga padi/ maddongi sampai memanen/ maringala …

I Mina dan dua anaknya dibuatkan gardu di pasar untuk dagang dan berfungsi sebagai tempat tinggal.

Pasar itu pasar sepekan di areal pegunungan yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki dan menggunakan kuda untuk menjual hasil kebun dan hasil hutan seperti kemiri, gula merah, pangi, beras pulut merah, jagung pulut, kacang dan madu. juga ada ikan laut dari Takkalasi Soppeng Riaja, ikan gunung seperti masapi, gabus, lele dan udang kecil/rontok dari sungai kecil/calo-calo.

Di gardu I Mina itu dibukanya tiap hari untuk menjual makanan dan minuman kopi dan tuak manis, rebus jagung pulut, singkong dan pisang goreng.

Terkadang menghidangkan menu makanan yang sudah langka seperti ketam ubi /sokko lame ale yang dipasangkan dengan panganan/dafa masapi dan belut/lenrong.

Semenjak pasar itu dibuka mulai pula dibudidayakan tanaman padi untuk beras merah khusus untuk dikonsumsi.

Di pasar itu juga menjual ternak sapi, kambing dan bebek menjelang hari raya lebaran puasa dan haji.

Berdatangan orang kampong khususnya anak-anak muda dari sekitar se Kecamatan.

Dari kampong seberang selatan; Galung Langie, Ukkee, Solie dan Pising.

Dari seberang barat kampong Labokong, Ganra, Kabaro, Leworeng, Turungeng Lappae, Paddangeng dan Kampong Baru (Saoraja).
.
Di areal pasar yang baru dibangun itu adanya di kawasan La Toppo atas di sebuah lahan padang luas dengan sungai kecil di pinggirnya.

Dibangun sebuah pasar bersebelahan dengan lapangan sepak bola.

La Seni kakak I Midah, penggemar sepak bola. Ia bersahabat dekat dengan La Base.

Dengan persahabatan itulah seringnya bertemu menciptakan benih-benih asmara antara La Bsse dengan adiknya I Midah yang menjadi perhatian para pemuda di sekitar kampung itu.

Karena itu La Seni banyak teman dan mengajak refresing ke kedainya di pasar yang bersampingan dengan lapangan sepak bola yang dilengkapi dengan kamar mandi dan ganti pakaian.

Sampai suatu waktu datang utusan keluarga pemuda La Sudi untuk meminang I Midah dari kampong sebelah barat (Ganra).

Meminang dalam tradisi adat Bugis di awali dengan apa yang disebut dengan Mammanu manu … yang artinya melakukan observasi, penjajakan apakah gadis yang akan dipinang itu belum dalam ikatan perjodohan.

Mengetahui hal itu I Sadi banyak termenung dalam kamarnya, tak bergairah seperti biasanya ikut bersukaria dengan tamu-tamu yang datang ke kedainya.

Berharap kapan lekaki yang telah mengikat rindunya itu, La Base datang dan mengabarkan apa yang di dengarnya, lebih cepat lebih bagus sebelum ada penetapan (mappetu ada).

Kedatangan La Base membuat kesepakatan bersama untuk menanggung resiko melanggar ketentuan adat, minggat melarikan diri.

Di subuh hari itu juga La Base menunggu I Midah di persimpangan jalan yang sepi, jalan setapak yag biasa dilalui para pengangkut/ pateke hasil bumi hutañ ke pasar.

Mereka berdua dengan perlengkapan sekenanya menyusur jalan itu yang berliku bertebing puluhan kilometer menuju ke Wiritasi Mangkiso.

Dari dermaga itu mereka berdua menumpang perahu nelayan menuju Mandar untuk dinikahkan oleh pemuka agama turunan ulama panrita Imam Laveo.

Beranda Inspirasi Ciliwung 8 Desember 2021.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here