Refleksi Hari Bakti Dokter Indonesia

0
295

Kolom Zaenal Abidin

Sejak Prof. Farid. A. Moeloek menjadi Ketua Umum PB IDI (2003 – 2006) organisasi profesi dokter satu-satunya ini selalu rutim menyelenggarakan diksusi publik bulanan guna merespon perkembangan kesehatan aktual yang terjadi secara nasional dan global. Setelah kepemimpinan berganti, Dr. dr. Fachmi Idris (Prof) menjadi Ketua Umum PB IDI (2006 – 2009) dan Prof. Farid A. Moeloek selaku Ketua Purna, aktivitas diksusi publik terus berlanjut bahkan menjadi agenda bulanan yang dihadir oleh rekan-rekan wartawan mitra IDI.

Karena sering menyelenggarakan dikusi publik maka Bang Amir Hamzah Pane (apoteker) yang saat itu staf ahli Komisi VII DPR RI mengajak saya untuk berjumpa dengan Bung Melkiades Laka Lena (apoteker, politisi Golkar). Pada pertemuan di Restoran Nelayan Manggala Wanabakti (Maret 2007) itu rupanya Bung Melki juga mengajak sohibnya Bung Franky Sahilatua.

Bang Amir mengenalkan saya dan program diskusi publik PB IDI kepada Bung Melki dan Bung Franky. Kemudian disambut oleh Bung Melki, bercerita tentang bangsa, kesehatan, dan bagaimana ia keliling Indonesia Bagian Timur bersama Bung Franky, serta membuat lagu untuk membingkai NKRI. Suasana diskusi cair seolah telah sering berjumpa.

Bung Franky mulai menyambar cerita Bung Melki tentang Indonesia dan bercerita tentang kebudayaan, kemiskinan, sakit tidak bisa berobat, dan Lumpur Lapindo. Dan juga tentang lagu ciptaannya terkait kondisi bangsa tersebut. Kemudian Bung Franky bertanya kepada saya, “Bung, apa yang dapat dilakukan dokter Indonesia untuk memperbaiki kesehatan rakyat Indonesia?” Saya jawab banyak sekali yang telah dilakukan oleh IDI dan dokter Indonesia untuk bangsa ini.

Secara historis, dokter Indonesia dan IDI memiliki sejarah panjang di negeri ini. Bila ditarik ke belakang, maka kita akan bertemu mahasiswa Stovia ketika itu, seperti Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Goembrek. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan dianggap bodoh, diperlakukan tidak adil, serta tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda).

Soetomo sangat terinspirasi oleh seniornya dr. Wahidin Soedirohusodo (I Manuntungi Daeng Tojeng), yang sangat senang bergaul dengan rakyat biasa sehingga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia sangat concern terhadap pendidikan rakyat. Berkeliling ke kota-kota di Pulau Jawa dengan biaya sendiri untuk memberikan ceramah guna membangun kesadaran rakyat tentang kesehatan dan kemiskinan. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.

Dokter Wahidin sangat menyadari betapa terbelakang dan tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda. Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Ketika keliling kota dr. Wahidin sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang “dana pelajar” guna membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Pada tahun 1907 Soetomo bertemu dengan dr. Wahidin Soedirohusodo dan juga Tjipto Mangoenkoesoemo membicarakan keinginannya membentuk sebuah organisasi mahasiswa. Kedua sangat setuju dan mendukung.

Ruang kelas Anatomi Stovia (Museum Kebangkitan Nasional) menjadi saksi sejarah. Ahad, 20 Mei 1908, pukul sembilan pagi, Soetomo menjelaskan gagasannya. Menyatakan bahwa hari depan bangsa dan tanah air ada di tangan mereka dan lahirlah organisasi Boedi Oetomo, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Penjelasan saya ini kemudian mendapatkan tambahan dari Bang Amir dan Bung Melki bahwa tahun depan genap 100 tahun Boedi Oetomo.

Bung Franky rupanya tertarik dengan cerita kami bertiga. Mungkin karena sejalan dengan idealisme dan tema-tema lagu yang telah diciptakannya. Tentang Perahu Retak, Aku Papua, Orang Pinggiran, Suara dari Kemiskinan, Pancasila Rumah Kita, Penjalanan, dan seterusnya. Karena itu, beliau mengusulkan diskusi bulan April 2007 dilaksanakan di Bentara Budaya Kompas. Temanya, “Kesehatan dan Kebudayaan”. Ajakan Bung Franky ini cukup bagus, lagi pula jarang tema-tema kesehatan itu dikaitkan dengan kebudayaan. Karena itu usulannya saya bicarakan dengan teman-teman PB IDI, khususnya Ketua Umum Dr. dr. Fachmi Idris, namun disarankan agar diskusi diselenggarakan di kantor PB IDI saja, sebagaimana selama ini.

Diskusi publik pertama yang dihadiri Bung Franky terjadi pada bulan 23 Mei 2007. Topiknya, “Sehat, Kalau Bisa Mahal Kenapa Harus Murah?” Bung Franky didapuk menjadi pembicara, dengan judul: “Menggagas Hidup Sehat dalam Dimensi Budaya dan Berkesenian.” Pembicara lain, dr Handrawan Nadesul (dokter dan penulis) memaparkan, “Sehat: Haruskah dengan Biaya Mahal?” dan Dr. dr. Fachmi Idris (Ketua Umum PB IDI), “Sistem Pelayanan Kesehatan terpadu: Sistem Kesehatan yang Bermartabat, Murah, dan Bermutu.” Diskusi berikutnya,12 Juni 2007 tentang, “Revilatisasi Semangat Kebangkitan Nasional Melalui Budaya Sehat; Studi Kasus Kondisi Kesehatan Pengungsi Korban Lumpur Lapindo.” Saat itu Bung Franky sebagai moderator.

Setelah berlangsung dua kali diskusi publik, muncul gagasan untuk memperinganti Satu Abad Kebangkitan Nasional sekaligus Satu Abad Koprah Dokter Indonesia, 20 Mei 2008. Tim kecil yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum pun tetap saja berjalan sekali pun SK Panitia penyelenggara telah dikeluarkan PB IDI. Dalam tim kecil selain Ketua Umum, ada saya selaku Sekjen, dr. Gatot Soetono, dr. Nurhidayat Pua Upa, dan lainnya.

Di luar kantor PB IDI kami makin intens bertemu dengan Bang Amir, Bung Melki, dan Bung Franky. Begitu pula dengan Bung J. Osdar (Wartawan senior Kompas) dan Bang Heri Rakhmadi (Bamboedoea Komunikasi) sambil minum kopi di kedai kopi. Bang Heri yang menawarkan diri untuk membuatkan logo resmi sekaligus untuk membantu strategi komunikasi dengan berbiaya murah.

Lalu, mengapa melibatkan dan meminta pendapat orang luar IDI? Sebab IDI sadar sedang mengusung tema besar, yang tidak mungkin dapat diselesaikan oleh IDI sendiri. IDI perlu masukan dari teman diskusi yang kritis. Dan juga IDI perlu dukungan untuk mengomunikasikan ke berbagai pihak.

Rapat pleno PB IDI yang dipimpin Ketua Umum kemudian menetapkan tema besar, “Menyongsong Seabad Kiprah Dokter Indonesia dan Seabad Kebangkitan Nasional” dengan sub-temanya, “Semangat Kebangkitan Nasional adalah Semangat Dokter Indonesia Menyehatkan Bangsa.” Program prioritasnya: 1. Revitalisasi sengat Kebangkitan Nasional melalui budaya sehat. 2. Memperkuat implementasi humanisme, etika, dan kompetensi dokter Indonesia.

Disepakati pula puncak dari rangkaian kegiatan adalah hari dicanangkannya 20 Mei sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Namun demikian belum tampak aktivitas yang merupakan inti dan cerminan Hari Bakti Dokter Indonesia. Karena itu Ketua Umum sebagai pimpinan rapat yang kemudian mengusulkan agar pada hari tersebut, para dokter membebaskan dan atau menyumbangkan jasa medisnya. Dokter yang berpraktik mandiri membebaskan jasa medisnya sementara yang berpraktik di rumah sakit atau di poliklinik menyumbangkan untuk kegiatan sosial. Usulan cerdas tersebut diterima bulat oleh peserta rapat pleno. Berhubung tanggal 20 Mei 2008 bertepatan dengan hari Ahad (libur) maka pelaksanaan pembebasan dan atau menyumbangkan jasa medis dipindahkan ke hari Senin, 21 Mei 2008.

Selama setahun dari bulan Mei 2007 sampai Mei 2008 PB IDI menggelar rangkaian program yang bermakna. Seperti: Diskusi Publik Bulanan, Peringatan HUT IDI Ke-57 di Gedung Stovia, Kemah Relawan IDI di Bontang, Dokter Kecil IDI Award, Indo Medika Expo, Seminar Urun Rembug Nasional, menerbitkan Buku Indonesia Caring Physician, dan membuat paket VCD untuk Dokter Indonesia (salah satu isinya adalah film dokumenter Seabad Kiprah Dokter Indonesia).

Untuk penulisan draft proposal dan pembuatan film dokumenter dipercayakan kepada dr. Gatot Soetono, MPH. Dan sebagai bagian dari strategi komunikasi PB IDI mencetak Pin, dan juga mencetak banner. Giant banner dipasang di depan kantor PB IDI, banner ukuran sedang dipasang di kantor IDI Wilayah dan Cabang diseluruh Indonesia. Bang Amir menawarkan diri untuk membantu mengurus banner ini mulai dari percetakan sampai pengirimannya.

Diskusi publik 21 April 2008 bertema “Membangun Nasionalisme Baru Indonesia.” Hadir Dr. Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI) dan Prof. Muhammad Nuh (Menkoinfo RI, selaku Ketua Panitia Nasional Harkitnas) serta dr. Samsi Jacobalis, Sp.B (PB IDI) sebagai nara sumber. Usai diskusi dilanjutkan pengibaran giant banner, “Menyongsong Seabad Kiprah Dokter Indonesia dan Seabad Kebangkitan Nasional.”

Pengibaran giant banner cukup menarik perhatian karena munculnya Bung Franky. Petikan gitar dan alunan lagu “Perjalanan” mengiringi pemasangan giant banner. Dua bait lagu berikut dinyanyikan berulang-ulang sampai banner terpasang.
“…Duduk di hadapanku seorang ibu
Dengan wajah sendu, sendu kelabu
Penuh rasa haru dia menatapku
Penuh rasa haru dia menatapku
Seakan ingin memeluk.. diriku..

Dia lalu bercerita tentang
Anak gadisnya yang t’lah tiada
Karna sakit dan tak terobati…”

Untuk Apa Hari Bakti Dokter Indonesia?

Melalui proposal kegiatan maupun penjelasan Ketua Umum PB IDI saat beraudiensi dengan Presiden RI, 20 Juni 2007 di Istana Negara pertanyaan itu telah terjawab. IDI menyatakan rencana memperingati secara khusus Seabad Kebangkitan Nasional, yang sekaligus melekat Seabad Kiprah Dokter Indonesia. IDI ingin memanfaatkan momentum tersebut untuk merevitalisasi peran dokter Indonesia agar tidak hanya sebagai agent of treatment, namun juga sebagai agent of social change dan agent of development.

Pada hakekatnya, ”Trias Peran” ini merupakan warisan luhur para dokter pendahulu sejak era Boedi Oetomo, yang telah menempatkan peran strategis dokter Indonesia dalam konteks kebangsaan. IDI ingin menggalang potensi dokter dan masyarakat untuk berkontribusi dalam proses pembangunan kesehatan bangsanya, sekaligus ingin mewujudkan suatu sistem kesehatan nasional baru dalam rangka menopang sistem ketahanan nasional. Pemikiran dan niat baik IDI tersebut disambut baik oleh Presiden RI dan kemudian menginstruksikan PB IDI untuk berkoordinasi dengan Mensesneg, Mensekab, dan Menkes.

Karena itu, pada puncak acara Seabad Kiprah Dokter Indonesia dan Seabad Kebangkitan Nasional, di Istana Negara, 28 Mei 2008, Presiden RI Soesilo Bambang Yoedoyono menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Ikatan Dokter Indonesia dengan seluruh jajarannya atas prakarsa dan kegiatan-kegiatan Hari Bakti Dokter Indonesia yang bertepatan dengan Satu Abad Kebangkitan Nasional tahun ini.

Presiden juga menyampaikan tiga harapan dan ajakan, khususnya Ikatan Dokter Indonesia dan umumnya keluarga besar jajaran kesehatan negeri ini. “Pertama, teruslah menjalankan Trias Peran dokter. Kedua, terus tingkatkan kepedulian, empati, dan kesetiakawanan sosial terutama ketika negara kita mengalami dampak kritis. Ketiga, terus tingkatkan profesionalitas dan kapabilitas dokter dan tenaga kesehatan negeri ini. Kita harus setara dengan dokter dan tenaga kesehatan negara mana pun. Kalau mereka bisa, ya kita bisa.”

Sebagai penutup, Presiden menyatakan, “Dan terakhir, dengan resmi saya mendukung 20 Mei menjadi Hari Bakti Dokter Indonesia.” Sejak itu dirayakanlah Hari Bakti Dokter Indonesia sebagai Gerakan Dokter untuk Bangsa. Bukan gerakan dokter untuk dokter itu sendiri. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI periode 2006 – 2009

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here