Jejak Kebugis: Mengawetkan Catatan dalam Ingatan

0
554
- Advertisement -

Buku: Jejak Tinta Kebugis 2015-21 Penulis: M. Said Saile & M. Saleh Mude Penerbit : PROdeleader, Jakarta, 2022
Tebal: 165 him + Foto

PINISI.co.id– Salah satu kelemahan manusia Indonesia adalah kurang menekuni pengarsipan, dokumentasi, pencatatan tentang banyak hal, alih-alih jatidiri sebagai sebuah bangsa. Dampak dari minimnya literasi ini, membikin orang lebih sering berasumsi, berhalusinasi, mereka-reka dan meraba-raba hingga akhirnya menjadi tuna sejarah dan mudah diracuni gosip dan kabar bohong.

Karena itu, Kebugis sebagai pilar KKSS meski berusia seumuran jagung, telah mampu mencatatkan perjalanan singkatnya, bagaimana kisah pembentukan pilar Kebugis menjadi sebuah paguyuban yang terasa syiarnya menggaung ke mana-mana.

Buku yang bertajuk Jejak Tinta Kebugis 2015-21, yang ditulis M. Said Saile dan M Saleh Mude, boleh jadi akan melahirkan buku berikutnya, ihwal Kebugis dalam peran sosial kulturalnya bagi warga Sidenreng Rappang khususnya dan juga warga umum lainnya.

Dan mungkin, Kebugis adalah satu-satunya pilar KKSS yang menukilkan dan merekam riwayatnya dalam sebuah buku, betapapun usianya masih singkat dan karenanya informasi yang diterakan cukup beragam. Satu paragraf, satu nama, atau akurasi tahun bisa saja  memicu silang pendapat yang tak berkesudahan. Itulah pentingnya pencatatan. Catatan adalah fakta.

- Advertisement -

BPP KKSS juga pernah membuat buku terkait sejarah keberadaan KKSS sebagai Perekat Etnis Nusantara,  dan telah diteliti oleh sejumlah mahasiswa dari universitas di Jakarta dan Makassar untuk studi keormasan yang berlatar kesukuan dan keindonesiaan seperti KKSS.

Sekiranya tidak ada pencatatan tersebut, maka sulit untuk merekonstruksi perjalanan sebuah organisasi, kalau tidak hanya menebak-nebak belaka. Dalam kaitan buku Kebugis ini, maka betapa bernilainya sebuah dokumentasi yang diabadikan dalam pelbagai ingatan, catatan, sebagai penanda peradaban. Ironinya, catatan, notulensi, arsip dan buku kerap dipandang sebagai hal yang tidak urgen, remeh temeh, tidak penting, ketimbang misalnya orang silau pada crazy rich, atau terpesona pada hal-hal yang berbau artifisial.

Buku Kebugis dan sejenisnya semoga danggap perlu, tetapi pastinya ia sangat berguna untuk waktu-waktu mendatang, — barangkali buat kepentingan riset dan penelitian tentang identitas kesukuan dalam organisasi primordial, misalnya. Pilar Kebugis ibarat sebuah bata yang menyusun KKSS dan lebih luas — keindonesiaan menjadi bangsa yang utuh. Bata-bata dari pilar lainnya termasuk suku, ras, agama, saling menopang dan menggenapi bangunan kokoh bernama Indonesia.

Buku Kebugis terbit ditengah masyarakat yang literasinya rendah — salah satu indikatornya, banyak kebijakan pembangunan yang tidak mendasarkan pada sainstik, data dan sejarah.

Kita bersyukur, Kebugis telah memberi contoh betapa tradisi pengarsipan dan penerbitan buku adalah kemewahan dalam upaya membangun karakter organisasi yang berorientasi modern.

Harta dan bagunan bisa saja terkubur dan binasa, namun buku mampu mengawetkan sejarah dan memandu kita untuk tidak terserimpung dalam jalan sesat.

Kita tunggu pilar-pilar lainnya membuat hal serupa.  (Alif)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here