Cendekiawan, Kerisauan dan Solusi

0
874

Pangkal dari kesenjangan sosial ekonomi itu adalah kesenjangan pengetahuan

Kolom Prof. Dr. Hafid Abbas

Saya bersyukur kemarin mendapat kesempatan menjadi salah seorang narasumber di antara 23 ilmuwan asal Sulawesi Selatan pada Pertemuan Cendekiawan Bugis-Makassar (PCBM) Pertama pada 27-28 Juni 2020 secara daring oleh Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPP KKSS), di bawah kepemimpinan adinda Muchlis Patahna, seorang notaris top di Jakarta. 

Pada hari itu, saya menyampaikan dua hal, kerisauan dan sekaligus solusi atas berbagai persoalan berbangsa dan bernegara yang kita hadapi saat ini. 

Saya risau karena melihat fenomena dan realitas di masyarakat kita, ada jurang (gap) antara kaya dan miskin yang terlalu timpang atau berjarak. Ini dapat menjadi sumber ancaman masa depan kita bersama sebagai satu bangsa besar yang hidup dalam bingkai NKRI. 

Data Global Wealth Databook 2016, misalnya, memperlihatkan Indonesia berada di urutan ke empat terburuk kesenjangan sosial ekonominya di seluruh dunia, berada setelah Rusia, India, dan Thailand. Kini kesejangan ini terus memburuk, bahkan data Oxfam 2017 menunjukkan kekayaan yang dimiliki oleh hanya empat orang WNI setara atau sama dengan 100 juta kekayaan WNI lainnya. 

Yang lebih mengerikan lagi ternyata, dalam enam tahun terakhir, dengan berbagai kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka penduduk miskin, angka kemiskinan hanya dapat diturunkan satu persen, tapi orang kaya naik sepuluh persen. Artinya kesenjangan sosial akan terus melebar karena negara seakan tidak hadir memajukan penduduk miskin. Negara seakan menjauh dari ikhtiar luhurnya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darahnya dan memajukan kesejahteraan umum. 

Sangat sulit dipercaya jika ada satu warga negara atau satu perusahaan dapat menguasai lebih 5 juta hektar tanah. Sangat sulit dipercaya jika orang miskin di ibukota di masa lalu rata-rata digusur 114 kali dalam setahun, dan setelah digusur tempatnya dibangun mal, apartemen, hotel, dsb, yang tidak diperuntukkan bagi mereka yang miskin.

Sangat sulit dipercaya di publikasi Kompas 14-15 Mei 2018, kalau sekitar 50 juta hektar tanah di negeri ini hanya dikuasai oleh kelompok kecil penduduk. Bahkan publikasi itu memperlihatkan ada beberapa provinsi di tanah air yang sudah tidak sejengkal lagi tanahnya tersisa untuk warga setempat karena jika dijumlah tumpukan izin penguasaan lahan oleh Pemda setempat dan Pemerintah Pusat, ternyata sudah lebih luas dari seluruh dataran provinsi-provinsi itu, seperti Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dsb.

Sangat sulit dipercaya kalau masyarakat Bugis Makassar yang dulu dikenal sebagai masyarakat bahari yang menguasai pantai dan laut, tapi kini terpinggirkan. Untuk kasus Pantai Tanjung Bunga dan Pantai Losari misalnya, kini didominasi oleh Lippo dan Ciputra.

Negara seakan-akan hanya hadir untuk memajukan orang kaya.

Potret ketimpangan ini mirip keadaan Afrika Selatan pada masa rezim apatheid, penduduk miskin, pribumi kulit hitam hanya jadi penonton bagi kejayaan, kekayaan dan kesejahteraan penduduk minoritas kulit putih yang hanya berjumlah sekitar empat persen. Namun, pada era pasca apartheid, ketika Nelson Mandella memimpin negaranya, ia berhasil melakukan pemihakan untuk memajukan kaum penduduk asli sehingga kesejahteraan negaranya lebih merata. Tanah-tanah yang tadinya dikuasai oleh kalangan kulit putih ditata kembali melalui kebijakan reformasi agraria untuk dibagikan ke penduduk asli kulit hitam. 

Sekarang Afrika Selatan jauh lebih sejahtera dari kita karena negaranya hadir untuk memajukan kaum pribumi yang tertinggal.

Demikian pula Malaysia yang pernah juga mengalami kesenjangan sosial yang amat parah, namun sekarang negara ini telah berhasil menurunkan perbedaan tingkat kesejahteraan antarwarganya. Di era kepemimpinan Mahathir, kaum Bumiputra atau Pribumi atau penduduk asli Malaysia, kaum Melayu, dapat hidup sejajar dengan etnis China atau India. Negaranya hadir untuk memajukan warganya yang terbelakang.

Afrika Selatan dan Malaysia, saya lihat dua negara yang sukses mengurangi atau menghilangkan kesenjangan sosial di negaranya. Indonesia perlu belajar dari kedua negara ini. 

Masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa kita hari ini, terutama masalah kesenjangan sosial ekonomi perlu mendapat perhatian sangat serius oleh berbagai pihak, termasuk kalangan sarjana (cendekiawan, panrita) Bugis-Makassar. Jika telat, kita bisa mengalami ancaman negara gagal (failure state). 

Sebelumnya, di beberapa forum nasional dan internasional, saya pernah mengatakan pangkal dari kesenjangan sosial ekonomi itu adalah kesenjangan pengetahuan (knowledge gap). 

Di Indonesia terdapat kesenjangan pendidikan antara rata-rata anak kota dan rata-rata anak desa, antara Jawa dan luar Jawa, dsb.

Sebagai ilustrasi, di antara 4713 PTN dan PTS seluruh Indonesia hanya tetcatat 96 yang memperoleh akreditasi A. Anehnya lagi, lebih 90 persen pendidikan tinggi yang berkualitas dengan akreditasi A itu hanya ada di Jawa. 

Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, di antara sekitar 300 ribu sekolah, ternyata 88,8 persen belum memenuhi standar minimal, baru 10,5 persen yang standar minimal, hanya 0,7 persen yang bertaraf internasional.

Untuk itu, para cendekiawan, para ilmuwan, para peneliti, dan para tokoh perlu tampil dan ikut berperan untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan ini. Mereka perlu hadir di daerah tertinggal untuk memajukan daerah sesuai koridor ekonominya dan memajukan pendidikannya.

Di Sulawesi Selatan di masa kepemimpinan  Gubernur Achmad Amiruddin telah dikembangkan pemetaan koridor ekonomi lokal di setiap Kabupaten untuk memajukan warga masyarakatnya yang tertinggal dengan menghadirkan para sarjana yang sesuai dengan bidangnya di setiap peta koridor ekonomi lokal itu. 

Prakarsa sepert ini perlu diangkat kembali dengan  menghadirkan para Cendekiawan untuk memajukan mereka yang tertinggal. 

Semoga kelak kesenjangan sosial dapat diperkecil sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.

Saya sangat mengapresiasi program Pertemuan Cendekiawan kemarin. 

Selamat berkarya untuk adinda Muchlis Patahna, Awaluddin Tjalla, M. Saleh Mude, dkk. 

Penulis, Guru Besar dan Ketua Senat Universitas Universitas Negeri Jakarta, dan Ketua Komnas HAM RI ke-8

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here