Bersama 67 Profesor, Andi Faisal Bakti dan Marwan Mas Tuntut MK Batalkan UU KPK Hasil Revisi

0
620
- Advertisement -

PINISI.co.id- Hingga Minggu 2 Mei 2021 sudah 69 guru besar dari berbagai perguruan tinggi ternama seluruh Indonesia bergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi.

Setidaknya 69 guru besar ini menandatangani surat permohonan pembatalan pengundangan UU KPK hasil revisi. Pendekatan pencegahan dalam pemberantasan korupsi yang diatur dalam UU No 19/2019.

Koalisi ini berharap Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dua profesor asal Makassar ikut bergabung yaitu Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, guru besar UIN Jakarta dan Prof. Dr. Marwan Mas, guru besar Universitas Bosowa. Keduanya dikenal anti-korupsi. Marwan sejak lama sebagai aktivis,  penulis hukum terkait pemberantasan korupsi.

Menurut Koalisi, selain situasi pemberantasan korupsi yang tak kunjung membaik pasca-perubahan UU KPK, pembatalan juga diperlukan mengingat lembaga antirasuah yang menjadi harapan masyarakat justru mengalami krisis integritas.

Salah satu perwakilan koalisi, Emil Salim, mengatakan nasib pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk. “Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 lalu, Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi. Jika ditarik sejak pembentuk undang-undang merevisi UU KPK, berturut-turut permasalahan datang menghampiri badan antikorupsi yang selama ini kita andalkan,” ujar mantan Menteri KLH jaman Orba ini seperti dikutip Tempo. Co.

Sebagai informasi, IPK berada di angka 37 pada skala 0-100 di 2020. Angka IPK 37 tersebut membuat posisi Indonesia melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya. Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 85.

Emil mengatakan, alih-alih memperkuat, eksistensi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 justru memperlemah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Situasi ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan KPK yang menitikberatkan pada upaya pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.

- Advertisement -

Substansi UU No 19 Tahun 2019, kata guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu, secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu, baik dari sisi profesionalitas maupun integritasnya. “Kita dapat membentang masalah krusial dalam UU, mulai dari hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada alih status kepegawaian KPK ke ASN,” ucap dia.

Akibat perubahan politik hukum pemerintah dan DPR itu, terdapat persoalan serius yang berimplikasi langung pada penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Selain itu, KPK juga dinilai mengalami degradasi etika yang cukup serius. Pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, dan praktek penerimaan gratifikasi serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani. “Pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK,” kata Emil.

Lebih lanjut, menurut Emil, bahkan proses pengesahan revisi UU KPK juga diwarnai dengan permasalahan serius, terutama ihwal proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Berangkat dari permasalahan yang telah disampaikan, kami menaruh harapan besar pada Mahkamah Konsititusi untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala. Harapan itu hanya akan terealisasi jika Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU KPK hasil revisi,” ujar Emil.

Emil Salim melihat, jika itu dilakukan, ia yakin penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, akan kembali pada ke khittahnya.

Selain Andi Faisal dan Mawan Mas, juga bergabung cendekiawan Azyumardi Azra, Franz Magnis-Suseno, Pratiwi Soedarmono, Didik J Rachbini, dan Ramlan Surbakti. (Lip)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here