Kolom: Fiam Mustamin
Dengan judul tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa begitulah karakter seniman pada umumnya: ketika mendapatkan kebahagiaan atau rezeki dari karyanya, ia selalu mengingat sesamanya, terutama mereka yang sedang mengalami kesulitan hidup.
Seniman memiliki sensitivitas rasa yang mendalam, yang dituangkannya dalam karya-karya kreatif. Kedalaman rasa batin itu juga mewarnai interaksi mereka dengan sesama seniman.
Saya mengenal Bambang Oeban; seniman multitalenta (teaterawan, penyair, dan pelukis) — sekitar sepuluh tahun lalu. Sejak itu kami terus berinteraksi, saling berbagi tentang apa yang sedang dikerjakan masing-masing.
Tak terduga, suatu hari sahabat ini tiba-tiba memberi kabar akan datang ke rumah, seolah-olah ia tahu bahwa saya sedang berada di rumah.
Di rumah, kami bicara banyak hal tentang kebudayaan dan kesenian. Saya sendiri lebih jauh ingin mengetahui tentang sosok maestro WS Rendra, Bengkel Teater, dan lingkaran komunitasnya.
Setiap kali ia datang, saya benar-benar memanfaatkan waktu untuk banyak bertanya, dan ia pun dengan senang hati meladeni kecerewetan saya dengan gaya santai, penuh guyon, dan tawa lepas.
Dalam hati, saya menikmati setiap adegan yang tersaji di depan saya: seorang aktor klasik berambut pirang, bertubuh semampai, berkaus, bersarung, dan bersandal; begitu khas.
Sambung Rasa, Membaca yang Tak Tertulis
Begitulah hubungan persahabatan kami — tanpa dusta di antara kita. Saya selalu merespons apa saja yang ia bagikan kepada saya, termasuk tulisan-tulisan esainya.
Kebiasaan ini memberi saya pengalaman analitis: belajar menafsir teks, bahkan menangkap yang tak tertuliskan.
Sampai suatu ketika, saya menyematkan padanya gelar Sang Burung Elang, sebagai pembeda dari gurunya, WS Rendra, yang dijuluki Sang Burung Merak.
Elang hitam itu terbang tinggi di angkasa, mengintai alam sekitarnya …
Menyaksikan makhluk saling memangsa, berebut makanan, yang kuat menindas yang lemah …
Elang terus mengerang, memandang ke penjuru alam, menyaksikan tragedi kehidupan itu, tak berdaya menghentikannya: huu … haa … huu …
Suatu waktu, “elang hitam” ini kembali mengabarkan akan datang ke rumah, membawa kamera perekam untuk membuat podcast.
Malam itu ia datang, membawa nasi bungkus — seperti tradisi shooting film — lalu menyiapkan setting untuk dialog kami yang akan direkam selepas Isya.
Sebelum take, ia menyodorkan honor yang tak kuasa saya tolak, sebagai bentuk penghargaan terhadap profesionalismenya.
Begitulah lakon spontan si Aktor Elang: tiba masa, tiba rencana. Tema yang akan direkam pun tak pernah ia sebutkan secara rinci — seolah yakin bahwa dua aktor ini sudah paham peran masing-masing, tentang pandangan mereka pada Presiden Joko Widodo periode awal (2014–2019) dan tentang PARFI, organisasi profesi artis film 1956.
Kali ini, semuanya dadakan, menyesuaikan waktu senggang sang “juragan aktor” yang padat jadwal shooting.
Berlima kami — Bambang Oeban dan istrinya, Zaenal Abidin, Nendra WD, dan saya — menapak ketinggian 800 meter menuju puncak bukit Pasir Manggis, ke villa sahabat kami, Mang Diding, sesepuh di daerah itu.
Di puncak bukit itu, yang dipenuhi pepohonan, hidup 13 burung garuda dan tersimpan sumber mata air dari 35 provinsi.
Di sana pula terungkap babad purba: peradaban awal bumi Pasundan, dari Galuh, Pakuan Pajajaran, Prabu Siliwangi, Majapahit, hingga Nusantara.
Jejak itu kini sedang ditelusuri oleh budayawan-jurnalis Mang Diding, dalam wujud metafora Binokasih.