Attesang, Sistem Ekonomi Sosial Makassar yang Tergerus Zaman

0
791
- Advertisement -

Kolom Daeng Gajang

Jauh sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, orang-orang Makassar telah memiliki sistem dan tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik dan pemerintahan sendiri yang menjadi landasan hukum dan aturan main dalam kehidupan sehari – hari mereka. Sebutlah contoh akbulosibatang accera sitongka – tongka, siri’ na pacce, sipakatau, sipakainga, sipakalakbiri, sipitangarri dan lain – lain.

Sedangkan khusus dalam bidang ekonomi, salah satunya yang sangat dikenal dan dipraktikkan turun temurun adalah budaya attesang. Tesang dalam bahasa Makassar berarti gaduh atau bagi hasil, jadi attesang berarti berbagi hasil.

Diyakini oleh orang Makassar bahwa budaya attesang ini merupakan salah satu kearifan lokal yang diwariskan dari masa Kerajaan Gowa-Tallo. Tolong menolong dan saling membantu untuk kesejahteraan bersama dalam masyarakat Makassar berakar dari budaya attesang. Namun sayangnya budaya attesang makin tergerus oleh sistem ekonomi kapital dimana segala sesuatunya dinilai dengan nominal uang, pun dalam interaksi yang bertujuan memperkuat solidaritas sosial, tak luput dari transaksi yang berlandaskan untung dan rugi.

Apa itu Attesang? Sebuah konsep ekonomi sosial dalam kebudayaan suku Makassar yang bertujuan meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga untuk kesejahteraan bersama antara pemilik aset (pata-tesangngang) dan pengelola aset (patesang) dalam kerangka relasi sosial yang saling menguntungkan.

- Advertisement -

Terdapat dua pihak yang bersepakat atas dasar saling percaya melakukan kerja sama yang saling menguntungkan dalam pengelolaan aset, baik aset yang bergerak maupun tidak bergerak namun produktif. Aset yang dikelolakan tersebut antara lain berupa sawah, ladang, kebun, empang/tambak, dan ternak (baik ternak besar maupun ternak kecil).

Prinsip Dasar Attesang

Attesang dilandasi atas saling percaya antara pemilik asset dengan pengelola aset. Jika pemilik aset (pata-tesangngang) telah menyerahkan pengelolaan asetnya kepada pengelola aset (patesang), maka pada saat itu pulalah terjadi kesepakatan bahwa kedua belah pihak telah bersepakat untuk membangun kerja sama yang saling menguntungkan walau tanpa disertai dengan sebuah dokumen perjanjian kerjasama yang ditandatangani kedua pihak.

Prinsip lain yang dijalankan adalah saling menolong, saling membantu serta saling asah, asih dan asuh. Bahkan terkadang antara pemilik aset dan pengelola asset terjalin ikatan emosional yang begitu kuat layaknya bersaudara atau berkerabat dekat walau secara sosial.

Batasan berakhirnya perjanjian attesang tidak diatur secara tegas, namun sepanjang kedua pihak masih bersepakat menjalankannya, maka kerjasama tersebut akan berlangsung terus, bahkan pada banyak kasus, kesepakatan kedua pihak ini dilanjutkan oleh masing-masing ahli waris, dan bahkan turun temurun hingga beberapa generasi.

Demikianlah gambaran begitu kuatnya rasa saling percaya yang terjadi di tengah masyarakat yang mempraktekkan budaya attesang ini. Budaya ini telah menjadi perekat sosial yang terbukti mampu menjaga kohesi sosial tetap terjaga dengan baik yang tercipta atas adanya kesamaan tujuan. Budaya attesang ini sangat sejalan dengan pemikirian budayawan Selo Soemardjan yang mengatakan bahwa budaya adalah sebuah hasil karya, rasa dan juga cipta masyarakat.

Bagaimana Praktiknya Dalam Pertanian?

Pembagian hasil akan dilakukan pada setiap kali panen untuk sawah atau kebun. Misalnya jika sawah tersebut adalah sawah irigasi, maka kemungkinan panen lebih dari satu kali dalam setahun, maka pembagian hasilpun akan dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun. Termasuk jika disela musim, lahan tersebut ditanami tanaman selain tanaman pokok (padi) seperti jagung, kacang – kacangan dan umbi – umbian, maka hasil dari tanaman selahpun akan dibagi antara pemilik lahan dengan pengelola.

Intinya tanaman apapun yang ditanam pada lahan tersebut bila berhasil dipanen, maka hasilnya akan dibagi menurut proporsi yang telah disepakati.

Prosentase bagi hasil antara pemilik lahan dengan pengelola untuk kasus pertanian, biasanya menggunakan pola 50 : 50, 60 : 40 dan 40 : 60. Pola 50 : 50 berarti 50 % hasil panen untuk pemilik dan 50 % lainnya adalah untuk pengelola dengan catatan semua biaya operasional telah dikeluarkan dari hasil panen. Pola 60 : 40 berarti pemilik mendapatkan bagian sebesar 60% dari hasil panen, sedangkan pengelola akan mendapatkan 40%, dengan catatan seluruh biaya operasional ditanggung oleh pemilik aset. Sedangkan 40 : 60 adalah pemilik akan mendapatkan hasil panen sebesar 40%, sedangkan pengelola akan mendapatkan hasil 60% dengan catatan biaya operasional ditanggung oleh pengelola.

Tentu pola pembagian hasil seperti ini sangat subyektif dan cenderung bias karena tidak ada alat ukur tertentu yang disepakati misalnya timbangan, liter dan lain – lain. Namun alat ukur yang digunakan biasanya alat ukur (tradisional) yang umum dipakai oleh masyarakat setempat misalnya baku, karung, ikat, keranjang, gompo, teteng, basse dan lain – lain.

Selain pola bagi hasil sebagaimana yang disebutkan di atas, terkadang ada yang membuat kesepakatan tersendiri misalnya jika penen dua kali setahun, maka hasil panen pada musim hujan adalah bagian dari pemilik, sedangkan panen pada musim kemarau adalah menjadi hak dari pengelola. Aturan main yang digunakan sangat fleksibel dan tidak terlalu mengikat karena tergantung dari kesepakatan kedua pihak. Pada tanaman kebun dan buah semisal kelapa, pisang, mangga dan hasil kebun lainnya, aturan main yang digunakan tinggal menyesuaikan dengan pola bagi hasil yang ada sepanjang kedua pihak telah bersepakat.

Dari pola bagi hasil inilah tercermin, betapa kedua belah pihak menempatkan `nilai-nilai sosial yang saling pengertian sebagai landasan dalam bertransaksi ekonomi. Mereka tidak menempatkan untung dan rugi dalam perhitungannya, namun solidaritas dan kohesi sosiallah yang utama.

Dalam peternakan, prinsip aturan yang digunakan secara umum sama dengan yang berlaku di bidang pertanian, hanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam bidang peternakan yang umumnya terdiri dari sapi, kerbau, kambing dan unggas.

Bagaimana Attesang Kini?

Walau budaya attesang ini masih dipraktekkan di banyak tempat di kalangan orang-orang Makassar hingga kini, namun perlahan makin tergerus dan lambat laum akan hilang di tengah – tengah masyarakat khususnya bagi orang Makassar. Hal ini disebabkan oleh pola interaksi dalam kehidupan bermasyarakat telah mengalami perobahan mendasar yaitu dari pola hubungan sosial yang saling asah, asuh dan asih menjadi pola hubungan ekonomi kapital yang didukung oleh regulasi yang bertajuk sistem upah minimum regional (UMR) yang kemudian dikenal dengan upah minimum provinsi (UMP) dan kabupaten/kota. Hubungan antara pemilik asset dan pengelola asset juga mengalami perubahan ke arah hubungan antara majikan (pemberi pekerjaan) dan pengelola asset (pekerja) yang diikat dengan sistem upah. Lambat laum, sistem attesang akan digusur oleh sistem upah.

Pola hubungan sosial yang berdasarakan rasa saling percaya, saling asah, asih dan asuh digantikan dengan sistem baru berupa pola hubungan antara majikan dan buruh. Si pemilik asset menjelma menjadi (majikan), sedangkan para pengelola asset berobah menjadi buruh yang akan mendapat upah kerja sebagai bayaran bekerja sebagai pengelola asset (patesang). Bahkan di beberapa tempat, sudah dianjurkan merujuk kepada peraturan pengupahan dari pemerintah yang besarannya ditinjau setiap tahunnya yang dikenal dengan upah minimum provinsi (UMP).

Kondisi seperti ini telah terjadi di sekitar kita, termasuk di pelosok perdesaan sehingga budaya attesang ini makin mendekati kepunahannya. Bertahan tidaknya budaya attesang ini di masyarakat sangat tergantung dari masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang berdaulat penuh atas hidup dan matinya budaya ini.

Mirip Sistem Eknomi Syari’ah

Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa budaya attesang ini telah menyandarkan prinsipnya kepada ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh orang Makassar. Maka sangatlah wajar bila produk budayanya dipengaruhi oleh Islam.

Jika ditelisik lebih dalam, kelihatannya sistem attesang ini sarat akan prinsip dari sistem ekonomi syari’ah. Hal ini tercermin terutama pada prinsip dasar yang dipegang bersama yaitu saling percaya, saling asah, asih dan asuh serta sistem bagi hasil antara pemilik dan pengelola yang menempatkan keberkahan sebagai alasnya. Termasuk jika panen gagal, maka kedua belah pihak bersama – sama menanggung risiko kerugian (tanggung rente).

Karena itu, bagi orang Makassar seyogyanya berkomitmen terhadap pelestarian budaya attesang ini setidaknya di lingkungan masing-masing. Bukan hanya sekadar mempertahankan budaya leluhur, akan tetapi sekaligus menjalankan prinsip-prinsip ekonomi Syariah yang tanpa sadar telah berakar kuat dalam budaya luhur orang Makassar. Pertanyaan besarnya sekarang adalah, apakah orang Makassar sendiri sadar akan hal ini? Mari merenungkannya bersama!

Penulis, pengasuh TESANG Institute

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here