Kolom Rusdin Tompo
Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan
Ngobrol dan ngopi dengan AB Iwan Azis, selalu penuh informasi. Maklum, lelaki yang tetap energik di usia menjelang 78 tahun ini pernah melakoni sejumlah profesi, salah satunya sebagai wartawan. Beliau pernah memegang kartu anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tapi habis masa berlakunya pada tahun 2002.
“Sebagai anggota PWI, sudah habis masa berlaku kartu saya. Namun diajak kembali, dihidupkan kartunya dan dimasukkan sebagai anggota dewan kehormatan PWI Sulsel,” ceritanya sambil tersenyum.
Saat ngobrol tentang media massa dan dunia kewartawanan, di pekan pertama Juli 2025, tak hanya kami berdua. Iwan Azis juga mengajak Mustam Arif, pegiat lingkungan yang mengelola Jurnal Celebes. Dalam kaitan kerja jurnalistik, kata Iwan Azis, beliau kerap sharing pengalaman dan bertukar informasi dengan Mustam Arif, yang pernah jadi wartawan Pedoman Rakyat, antara tahun 1993-2007.
Menurut Mustam Arif, Pedoman Rakyat (PR) di masanya merupakan koran utama di Makassar. PR merupakan harian Kompas-nya Makassar. Berita-beritanya akurat dan terpercaya. Penetrasi koran yang terbit sejak 1 Maret 1947 itu bahkan sampai ke berbagai daerah. Di Ambon, misalnya, Pedoman Rakyat pernah punya anak perusahaan, namanya Pos Maluku.
PR ini merupakan koran perjuangan, dengan slogan “Pedoman Rakjat, Suara Merdeka untuk Keadilan Sosial”. Slogan ini nanti menjadi “Suara Merdeka Penegak Pancasila”, dengan bendera merah putih pada logonya. Logo ini dibuat oleh M. Basir, yang pernah menjadi Ketua PWI Sulsel. Wartawan-seniman ini juga yang membuat logo Kodam XIV/Hasaanuddin.
Iwan Azis, bercerita, beliau pernah bergabung di surat kabar BARATA MINGGU. Pemimpin redaksinya Zainal Bintang, yang sekalipun asal Sulsel tapi berkiprah di ibu kota Jakarta. Zainal Bintang ini bersaudara dengan Firman Bintang, dan Ilham Bintang. Mereka merupakan sepupu dari Iwan Azis.
Di luar PR, BARATA MINGGU termasuk yang kuat di Makassar. Apalagi korannya diedarkan secara nasional. Pemimpin redaksinya, Zainal Bintang, merupakan tokoh pers. Walaupun beda usia dengan Rahman Arge tapi, menurut Iwan Azis, Zainal Bintang mampu menyejajarkan dirinya dengan wartawan senior, yang juga dikenal sebagai seniman dan aktor tersebut. Mereka bahkan bersinergi, termasuk dengan LE Manuhua, pendiri PR.
“Zainal Bintang ini memang punya kelebihan. Semasa bersekolah di SD, dia tidak injak kelas 6, langsung lulus. Dia dikasi kesempatan untuk ujian, dan ternyata IQ-nya mampu,” Iwan Azis melanjutkan ceritanya.
Selain sebagai wartawan, Iwan Azis juga merangkap sebagai agen koran itu. Kalau tidak salah, katanya, BARATA MINGGU tadinya milik orang lalu dibeli oleh Zainal Bintang. Jadi bukan koran yang dirintis sejak awal. Nanti setelah di bawah manajemen Zainal Bintang, koran mingguan itu berkembang pesat. Wartawan BARATA MINGGU antara lain, Muhammad Thahir Ramli, seorang anggota militer aktif tapi meminati dunia jurnalistik, dan Yusuf Moha, yang punya pehamahan jurnalistik bagus.
“Kayaknya, saya masih miliki kartu persnya. Saya agen dan wartawan, ya pemiliklah dalam tanda kutip. Karena masih sepupu dengan Zainal Bintang. Hingga saat ini kami sangat dekat,” ungkap Iwan Azis tentang korannya itu.
Sebagai koran umum maka liputannya berbagai macam, mulai politik hingga kriminal. Juga seputar isu-isu pembangunan. Diberitakan tanpa tendensi, sesuai standar jurnalistik. Independensi dan integritas wartawannya terjaga. Koran BARATA MINGGU ini terbit antara 70-90-an. Bahkan diakhir 90-an, koran ini masih garang dan disegani.
Iwan Azis mengenang, dahulu, kalau melakukan tugas jurnalistik ke daerah, bukan humas yang temani dan mengantar wartawan tapi langsung oleh bupati setempat. Sebagai wartawan, mereka dijamu di rumah dinas bupati. Era itu, profesi wartawan dihormati dan mendapat tempat tersendiri di kalangan kepala daerah.
“Kita makan bersama di rumah jabatan dalam suasana akrab dan hangat. Namun, itu semua diletakkan dalam hubungan profesional, sebagai wartawan dan pemerintah,” imbuhnya.
Beliau lantas menyebut beberapa nama pejabat era itu, antara lain Bupati Andi Made Ali (Bupati Soppeng, 1965-1979), dan Muh Suaib Pasang (Bupati Takalar, 1967-1978). Mereka ini bupati yang berlatar belakang tentara dan polisi. Di Parepare, walikotanya Joesoef Madjid (periode 1977-1983), suami dari Ida Joesoef Madjid, juga mereka sambangi bila tengah dalam tugas jurnalistik.
Katanya, era itu gubernur, walikota, dan bupati masih ditunjuk oleh pemerintah pusat. Kalau seseorang di masa itu sudah jadi Pangdam (Panglima Komando Daerah Militer), maka kemungkinan akan jadi gubernur, misalnya Mayjen TNI (Purn) HZB Palaguna. Sebelum menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, dua periode (1993-1998 dan 1998-1993), HZB Palaguna pernah menjadi Pangdam VII/Wirabuana (1991-1993).
“Kalau dahulu, menjadi pejabat itu bukan cuma garis tangan, tapi juga karena campur tangan dan tanda tangan,” kata Iwan Azis yang membuat kami semua tertawa.
Ada fenomena, berdasarkan amatannya. Katanya, bila Made Ali datang di suatu tempat, maka kepala daerahnya mesti bersiap-siap. Karena itu bisa pertanda akan diganti. Beliau ini biasanya akan menjadi pelaksana tugas (Plt), antara lain pernah sebagai Plt Bupati Bone, tahun 1982-1983.
Media era itu, Makassar Press (Mapress), Indonesia Pos, Pos Makassar, Mimbar Karya, dan Tegas, yang semula bernama Marhaen. Marhaen yang digawangi Achmad Siala, seangkatan dengan PR. Marhaen pernah bekerjasama dengan PR, melalui surat edaran tertanggal 1 Juli 1959, yang menyatakan bahwa Marhaen menjadi koran tetap yang mengiklankan Pedoman Rakyat. Koran itu dianggap mampu bersaing dengan PR, dengan tiras mencapai 3.500 eksemplar (wikipedia.org).
Ketika pecah G30S, Marhaen tutup, karena dianggap kiri. Lalu Tegas muncul, dipimpin oleh Syamsuddin DL, pernah jadi Ketua PWI. Tokoh-tokoh pers era itu, antara lain Burhanuddin Amin (Indonesia Pos), A Moein MG ((Pos Makassar), dan MN Syam (GEMA). Kira-kira ada 20an koran yang terbit di Makassar.
Ada juga Pos Minggu Pagi, dan surat kabar Bawakaraeng, milik Ramis Parenrengi, yang sempat berganti nama menjadi Diplomat, tapi kemudian kembali dengan nama Bawakaraeng.
Belakangan muncul Harian Fajar, yang didirikan oleh Harun Rasyid Djibe, saat zamannya Gubernur Andi Oddang. Harian Fajar berkembang pesat di era HM Alwi Hamu. Tokoh-tokoh di balik nama besar Fajar, antara lain Syamsu Nur, Andi Syafiuddin Makka, dan S. Sinansari ecip. Harian ini ditopang dengan percetakan Bakti Baru di Jalan Ahmad Yani. Harian Fajar selanjutnya pindah ke Jalan Racing Centre, sebelum menempati Graha Pena, Jalan Jenderal Urip Sumoharjo.