Bagea, Pangan Khas Luwu Berbasis Sagu yang Menghidupkan Tradisi dan Alam

0
102
- Advertisement -

PINISI.co.id- Ketika membahas tentang sagu, tak dapat dilepaskan dari kekayaan kuliner yang dihasilkan dari olahan pati sagu, bahan pangan lokal yang sarat makna budaya dan nilai gizi. Di wilayah Tana Luwu, yang mencakup Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur, sagu telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat—mulai dari sajian tradisional seperti kapurung, hingga makanan ringan seperti kue kering yang kini mulai populer kembali.

Salah satu panganan yang tengah menarik perhatian adalah kue BAGEA. Meski belum ditemukan secara pasti asal-usul nama ini, BAGEA telah menjadi identitas tersendiri dalam ragam kuliner sagu khas Luwu. Terbuat dari pati sagu yang dipadukan dengan gula aren atau gula pasir, kue ini sering kali diperkaya dengan berbagai bahan pelengkap sesuai kreativitas pembuatnya. Cita rasanya khas: manis, renyah, dan menyisakan jejak rasa alam yang alami.

Salah satu penggerak pelestarian pangan lokal ini adalah Andi Mira Ilyas, pemilik rumah produksi sekaligus pengelola warung kopi di Belopa, Kabupaten Luwu. Ia memproduksi kue ini dengan merek dagang BAGEA, sebagai bentuk dedikasi terhadap kekayaan kuliner lokal. Keputusan tersebut, menurutnya, tidak hanya berdasar pada kemudahan akses bahan baku, tetapi juga sebagai bentuk kepedulian terhadap makanan tradisional yang mulai terpinggirkan oleh arus industri makanan modern.

“Yang pasti, makanan ringan ini sehat. Kaya karbohidrat, tanpa lemak, dan cocok untuk semua usia,” ungkap Mira. “Lewat merek BAGEA, kami juga berupaya memberi nilai tambah—baik dari sisi kemasan, rasa, maupun aksesibilitas. Harganya pun tetap terjangkau.”

Kehadiran BAGEA mendapat sambutan positif dari banyak kalangan. Boy Hasid, seorang aktivis lokal, memberikan apresiasi atas inisiatif ini. Menurutnya, UMKM seperti rumah produksi BAGEA berperan penting dalam menghidupkan kembali minat terhadap budidaya sagu, yang selama ini mulai terpinggirkan akibat ekspansi tanaman perkebunan lain yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.

- Advertisement -

“Ketika usaha seperti ini berkembang, masyarakat akan kembali melihat potensi sagu sebagai sumber penghidupan. Ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada ekologi,” ujar Boy Hasid.

Ia menekankan bahwa pohon sagu bukan hanya sumber pangan, melainkan juga bagian penting dari ekosistem. Akar sagu menyimpan air, batangnya memproduksi oksigen dalam jumlah besar, dan hampir seluruh bagian pohon memiliki nilai guna ekonomi. Contohnya, ulat sagu kaya akan protein; ampas sagu bisa menjadi pakan unggas; kulit batang dapat diolah menjadi bahan mebel; lidi daun menjadi sapu; sementara daunnya bisa dimanfaatkan sebagai atap rumah tradisional.

Namun, tantangan tetap ada. Salah satu kendala yang sering dijadikan alasan adalah masa tumbuh sagu yang cukup lama, yakni sekitar 7–8 tahun jika dibudidayakan, atau 12–15 tahun bila tumbuh alami di hutan. Meski demikian, Boy Hasid mendorong agar hal ini tidak dijadikan alasan untuk berhenti menanam. Ia menekankan perlunya kreativitas dan inovasi dalam mengolah sagu, agar masyarakat tak hanya bergantung pada nilai ekonomi dari pati sagu, tetapi juga mengembangkan produk-produk turunan yang lebih bernilai.

“Dengan membudidayakan sagu, kita tak sekadar menciptakan peluang ekonomi. Kita juga melestarikan sejarah lokal, memperkuat identitas budaya, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Inilah makna sejati dari falsafah Wanua Mappatuwo—daerah yang memberi kehidupan,” tambahnya.

Ia pun mengkritik keras praktik-praktik eksploitasi alam yang merusak, dan mengajak masyarakat untuk berpihak pada keberlanjutan:

“Jauh lebih baik menyuburkan tanah, menghijaukan permukaan bumi, daripada menebang pohon demi mengeruk isi perut bumi untuk memenuhi keserakahan segelintir orang yang mengabaikan warga lokal,” tegasnya.

Menutup perbincangan, Mira kembali mengajak masyarakat untuk mendukung produk lokal dan menjaga tradisi.

“Jangan lupa, temukan panganan khas Luwu—BAGEA—di gerai dan toko terdekat. Mari kita nikmati sehatnya sagu, sekaligus melestarikan warisan kuliner kita,” pungkasnya. (Bul)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here