Kolom Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum
Dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa, Mahkamah Agung terus memperkuat tata kelola kepemimpinan melalui sistem pengawasan dan pembinaan berkelanjutan, serta keterlibatan publik dalam pengawasan moral calon-calon pimpinan pengadilan.
Pengantar
Dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung menetapkan sejumlah misi strategis untuk mewujudkan Visi Badan Peradilan yakni Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung. Salah satu misi yang sangat fundamental adalah “meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan”.
Misi ini menegaskan, kepemimpinan bukan sekadar jabatan struktural, melainkan instrumen utama untuk membangun integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas lembaga peradilan.
Kepemimpinan dalam lingkungan badan peradilan merujuk pada ketua/kepala dan wakil ketua/kepala pengadilan di seluruh lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Hal tesebut sebagaimana ditentukan dalam berbagai undang-undang lingkungan peradilan dan Perma 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Di Bawahnya. Pimpinan pengadilan bertugas memimpin, mengarahkan, serta memastikan proses peradilan berjalan secara efektif, efisien, dan selaras dengan prinsip independensi dan keadilan substantif.
Dalam filsafat moral klasik, pemimpin adalah teladan (exemplum virtutis). Seorang pimpinan peradilan tidak hanya dituntut untuk cakap hukum, tetapi juga menjadi contoh integritas, ketegasan etika, dan ketulusan dalam mengemban amanah keadilan.
Pandangan tersebut, sejalan dengan nilai-nilai dalam Islam yang menempatkan pemimpin sebagai amanah (tanggung jawab moral) yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
Dalam konteks peradilan, kepemimpinan adalah perwujudan dari keadilan, kejujuran, dan kesederhanaan, yang wajib melekat pada pribadi seorang ketua/kepala atau wakil ketua/kepala pengadilan.
Kualifikasi Pimpinan Pengadilan
Mahkamah Agung menerapkan mekanisme fit and proper test sebagai syarat menjadi pimpinan pengadilan. Mekanisme ini bukan sekadar prosedur administratif, tetapi proses seleksi berbasis kompetensi, integritas, dan rekam jejak. Uji kelayakan dan kepatutan ini menilai tiga dimensi utama:
(1) kemampuan teknis yudisial, yaitu penguasaan terhadap hukum materiil dan formil,
(2) kapasitas manajerial dalam memimpin lembaga peradilan yang kompleks, serta
(3) integritas personal yang mencakup komitmen terhadap etika, kejujuran, dan sikap antikorupsi.
Ketua Mahkamah Agung secara tegas menekankan, penentuan pimpinan pengadilan harus dilakukan secara objektif dan berdasarkan data serta profiling yang akurat terhadap calon pimpinan. Penelusuran rekam jejak, hasil kinerja sebelumnya, dan catatan integritas menjadi dasar utama, bukan berdasarkan rasa suka, kedekatan, atau pertimbangan emosional semata. Profesionalisme dalam proses penentuan pimpinan merupakan bagian dari upaya menjaga martabat peradilan dan mencegah intervensi atau kolusi dalam promosi jabatan.
Dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa, Mahkamah Agung terus memperkuat tata kelola kepemimpinan melalui sistem pengawasan dan pembinaan berkelanjutan, serta keterlibatan publik dalam pengawasan moral calon-calon pimpinan pengadilan.
Mahkamah Agung juga mengembangkan sistem penilaian berbasis kinerja dan integritas untuk memastikan bahwa promosi jabatan benar-benar diberikan kepada figur yang pantas dan layak secara profesional dan moral serta tidak mengedepankan senioritas atas dasar pangkat.
Dalam pelaksanaannya, Mahkamah Agung juga mendorong keterbukaan dan partisipasi warga peradilan serta masyarakat umum untuk memberikan masukan terhadap calon pimpinan. Masukan tersebut dapat berupa penilaian kinerja sebelumnya, catatan pelanggaran etik, hingga testimoni tentang sikap profesional dan kepribadian.
Di samping itu, penelusuran rekam jejak calon dilakukan secara sistematis melalui data pengawasan, hasil laporan pemeriksaan, hingga evaluasi kinerja yang terdokumentasi. Hal ini dilakukan agar proses seleksi tidak semata formalitas, tetapi benar-benar mencerminkan integritas dan kelayakan substantif calon pimpinan.
Peran Vital Pimpinan Pengadilan
Integritas peradilan sangat bergantung pada kualitas pimpinan. Ketua pengadilan memegang peran vital dalam menentukan komposisi majelis hakim atau hakim tunggal yang menangani suatu perkara. Oleh karena itu, penentuan ini harus mempertimbangkan keseimbangan beban kerja, pengalaman, kompetensi substansial, dan integritas hakim yang bersangkutan. Penempatan hakim yang tepat akan berkontribusi besar terhadap kualitas putusan dan kepercayaan publik terhadap pengadilan.
Di sisi lain, pimpinan pengadilan juga memiliki kewenangan pengawasan terhadap seluruh hakim dan aparatur peradilan dalam menjalankan administrasi pengadilan.
Salah satu bentuk paling penting dari kewenangan tersebut adalah pengawasan melekat (embedded supervision).
Pengawasan ini mengharuskan pimpinan pengadilan untuk secara aktif, rutin, dan langsung mengawasi kinerja bawahannya dalam keseharian tugas, bukan hanya melalui pemeriksaan insidental.
Dengan pengawasan melekat, pimpinan dapat segera mengetahui dan mencegah perilaku yang menyimpang, memperbaiki proses kerja yang tidak efisien, serta membina integritas dan kedisiplinan aparatur secara konsisten.
Hal ini juga sejalan dengan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung, yang mewajibkan pimpinan melakukan pembinaan dan pengawasan melekat.
Lebih lanjut, Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 menegaskan, pimpinan pengadilan yang lalai melakukan pengawasan, termasuk pengawasan melekat dapat dikenai sanksi.
Keteladanan Pimpinan Pengadilan
Keteladanan juga menjadi elemen penting dalam kepemimpinan. Pimpinan pengadilan harus menjadi teladan dalam gaya hidup yang sederhana, menjauhi sikap konsumtif dan hedonistik dengan memperhatikan prinsip-prinsip kepatutan, dan kewajaran.
Kesederhanaan dalam bersikap dan berpenampilan merupakan simbol integritas moral sekaligus bentuk kepekaan sosial terhadap keadilan substantif yang dijunjung tinggi dalam profesi hakim.
Selain itu, pimpinan pengadilan mesti menjadi teladan dalam ucapan dan sikap dalam menjauhi berbagai praktik transaksional dalam pelayanan peradilan. Pimpinan pengadilan juga wajib menjaga jarak etis dalam pergaulan dengan aparat penegak hukum lainnya.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tegas mengatur agar hakim, termasuk pimpinannya, membatasi pergaulan sosial yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, ketergantungan, atau bahkan persepsi negatif dari masyarakat.
Dalam konteks ini, Pimpinan pengadilan harus menjadi penjaga marwah peradilan dengan membangun batas profesional yang sehat dan menjaga independensi lembaga secara institusional maupun personal.
Pimpinan pengadilan juga memiliki peran penting dalam melakukan pembinaan teknis yudisial, terutama kepada hakim-hakim yang masih baru atau belum memiliki pengalaman pada jenis perkara tertentu.
Pembinaan ini berupa diskusi teknis yang bertujuan untuk menjaga kualitas penanganan perkara secara kolegial tanpa tendensi untuk melakukan intervensi terhadap putusan yang menjadi hasil akhirnya.
Penutup
Kualitas kepemimpinan adalah cermin dari kualitas lembaga peradilan secara keseluruhan.
Pemimpin yang kuat, bersih, dan berintegritas akan melahirkan budaya kerja yang baik, proses peradilan yang adil, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yudisial. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kepemimpinan bukan hanya langkah teknis, tetapi juga investasi moral untuk meneguhkan integritas peradilan Indonesia.
Penulis, Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung RI