PINISI.co.id- Akhir April 2025 menjadi momentum yang penuh makna bagi keluarga besar Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Jawa Tengah. Dalam sepekan, dua kegiatan agama dan budaya digelar berturut-turut, mempertegas kecintaan warga KKSS terhadap warisan leluhurnya.
Peristiwa pertama adalah Halalbihalal KKSS yang digelar di Tegal, 25 April 2025. Kota yang dekat dengan laut namun dikenal sebagai kota warteg ini menjadi tempat strategis karena banyak warga KKSS yang bermukim dan menggantungkan hidup sebagai nelayan di sana. “Kita ingin merangkul semua, termasuk saudara-saudara kita di daerah pesisir. Halalbihalal ini menjadi jembatan silaturahim, sekaligus wujud kehadiran kami sebagai pengurus wilayah,” ungkap Ketua BPW KKSS Jawa Tengah, Musdalifah Pangka, kepada PINISI.co.id.
Tiga hari berselang, suasana budaya Sulawesi Selatan kian terasa kental saat KKSS Jawa Tengah diundang khusus oleh Himpunan Ratna Busana Indonesia Surakarta dalam acara Peragaan Busana Nusantara di Sunan Hotel Solo, 27 April 2025. Pada kesempatan istimewa ini, KKSS tampil memukau dengan mengusung tema “Mengenal Budaya Pengantin Sulawesi Selatan.”

“Ini adalah kehormatan besar bagi kami. Partisipasi ini bukan sekadar pertunjukan busana, tetapi bagian dari komitmen untuk merawat dan mengenalkan kekayaan budaya Bugis Makassar kepada khalayak luas,” ujar Musdalifah sumringah.
Gedung acara pun seolah disulap menjadi miniatur Sulawesi Selatan. Nuansa khas tanah Bugis, Makassar dan Toraja memenuhi ruangan. Para perempuan anggun mengenakan baju bodo dengan warna-warna cerah seperti jingga, merah marun, dan hijau zamrud, berpadu dengan kilauan perhiasan emas khas Sulawesi Selatan. Sementara para pria mengenakan jas tutup dan lipa’ sabbe’, kain sarung sutra khas Bugis Makassar menambah kesan megah.
Yang paling menyita perhatian adalah peragaan prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar dan Toraja. Prosesi ini tidak hanya menghadirkan keindahan visual, tetapi juga mengandung filosofi dan simbol-simbol kultural yang dalam.
Dalam budaya Bugis Makassar, pernikahan bukan semata ikatan dua insan, melainkan penyatuan dua keluarga besar dalam kehormatan dan kesakralan. Prosesi diawali dengan Mappuce-puce atau Mappasiarekeng, yaitu tahap penjajakan yang dilakukan keluarga pria untuk memastikan kesiapan sang gadis. Dilanjutkan dengan Mammanu-manu atau Mappettuada, yakni lamaran resmi yang disertai pembicaraan tentang uang panai’, mahar budaya yang mencerminkan tanggung jawab dan martabat pihak laki-laki.
Setelah itu, dilakukan Mappanre Temme atau Makkasiwi’, sebagai penyerahan sebagian uang panai’ dan tanda jadi. Puncak spiritualitas terlihat dalam prosesi Mappacci, malam penyucian diri calon pengantin dengan ritual simbolik penuh doa, harapan, dan restu keluarga. Diakhiri dengan akad nikah, resepsi megah, dan Mapparola—prosesi mengantar mempelai perempuan ke rumah suami sebagai lambang penyerahan dan penerimaan keluarga.
Menurut Musdalifah, setiap tahap dalam prosesi tersebut memiliki makna filosofis yang dalam. “Inilah warisan budaya yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga sarat nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial. Kita wajib menjaganya,” ucap Musdalifah yang dibalut baju bodo kuning terang.
Penggagas acara, Danarsih Santosa, menyampaikan apresiasi tinggi terhadap KKSS Jawa Tengah atas penampilan yang elegan dan penuh nilai .
Lewat dua peristiwa ini, KKSS Jawa Tengah tak hanya mempererat jalinan silaturahim akan tetapi juga mengukuhkan diri sebagai penjaga pusaka budaya Sulawesi Selatan di tanah rantau. (Lip)