Yurisprudensi MA RI: Keputusan Rektor Perguruan Tinggi Swasta Objek Gugatan Peratun

0
51
- Advertisement -

PINISI.co.id- Surat Keputusan Rektor Universitas Swasta dapat dikualifisir sebagai Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN), yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

Hak memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara, yang jadi kesatuan dari Hak Asasi Manusia, baik diatur Pasal 28 C dan Pasal 31 Ayat 1 Konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945), serta Pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Konsensus internasional menegaskan, hak mendapatkan pendidikan, guna meningkatkan kualitas hidup, menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia, sebagaimana diatur Pasal 26 Universal Declaration of Human Rights (Deklrasi Universal Hak Asasi Manusia), yang diumumkan Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.

Berdasarkan amanat konstitusi Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban membentuk satu sistem pendidikan nasional, yang ditujukan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka, mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional berkemajuan, dialokasikan 20 persen APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, sesuai Pasal 31 Ayat 3 dan 4 UUD NRI 1945.

Walaupun konstitusi hanya mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar, sesuai Pasal 31 Ayat 2 UUD NRI 1945. Namun, pemerintah wajib mendorong peningkatan jenjang pendidikan, yang ditempuh warga negara. Tingginya jumlah lulusan pendidikan tinggi, berpengaruh pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, sebagaimana parameter indeks pembangunan manusia (IPM).

Sesuai hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) RI pada 2024, di mana jumlah lulusan sarjana Indonesia, tergolong masih rendah dengan angka 10,2%, berbeda dengan warga negara lulusan pendidikan SMA sejumlah 30,85%, tingkat SMP 22,79 % dan SD sebesar 24,72%.

Tidak hanya pemerintah, yang punya tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, perorangan atau kelompok masyarakat dapat berpartisipasi mendirikan satuan pendidikan, dengan memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah, sesuai Pasal 8 dan 62 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam konteks, penyelenggaraan pendidikan tinggi, masyarakat dapat menjadi pendiri dan penyelenggaranya, yang dikenal dengan perguruan tinggi swasta (PTS). Pendirian PTS, wajib berbadan hukum, seperti yayasan atau perkumpulan, serta berprinsip nonprofit dan memperoleh izin Menteri, sesuai Pasal 60 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Dalam penyelenggaraannya, PTS berhak mendapatkan alokasi dana pendidikan dari negara bersumber APBN, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan PTS, sesuai Pasal 89 Ayat 1 UU Pendidikan Tinggi. PTS juga memiliki hak mendapatkan dana operasional pendidikan untuk kepentingan riset, sesuai ketentuan Pasal 89 Ayat 6 Peraturan Pemerintah dimaksud.

Bahkan, PTS dapat dicabut izinnya oleh menteri, sesuai ketentuan Pasal 60 Ayat 6 UU Pendidikan Tinggi. Pencabutan izin PTS melalui penetapan menteri, dikarenakan alasan PTS dinyatakan tidak terakreditasi oleh BAN PT, perubahan kebijakan aturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan, diusulkan badan penyelenggara PTS, pembubaran badan penyelenggara PTS, tidak lagi memenuhi syarat pendirian PTS dan dikenakan sanksi administrasi berat, sebagaimana ketentuan Pasal 21 Ayat 1 dan 2 Permenrisetdikti Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis menarik kesimpulan, adanya peran pemerintah dalam penyelenggaraan PTS, meskipun inisiasi pendirian dan penyelenggaraannya dilakukan oleh masyarakat.

Pertanyaan yang timbul selanjutnya, apakah Keputusan Rektor Perguruan Tinggi Swasta (PTS), bilamana dinilai bermasalah dan diajukan sebagai objek gugatan, merupakan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara atau bukan? Apakah secara mutatis mutandis, peran serta pemerintah dalam penyelenggaraan PTS, menjadikan Keputusan Rektor PTS sebagai objek KTUN?

Untuk menjawab pertanyaan dimaksud, akan penulis uraikan Yurisprudensi MA RI mengenai kedudukan Keputusan Rektor Universitas Swasta sebagai objek gugatan.

Kaidah Hukum Yurisprudensi MA RI Keputusan Rektor Universitas Swasta

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di mana Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) diperluas dan wajib dimaknai, sebagai berikut penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual, keputusan badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta penyelenggaraan negara lainnya, berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB, bersifat final dalam arti luas, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat, sesuai Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan dimaksud.

Surat Edaran Mahkamah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, memberikan penjelasan dan menguraikan lebih lanjut perluasan objek KTUN, dalam Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan. Ambil contoh, dijelaskan sifat KTUN antara lain kongkret individual seperti Keputusan izin mendirikan bangunan, abstrak individual seperti keputusan tentang syarat-syarat pemberian perizinan dan kongkret umum seperti keputusan tentang penetapan upah minimum regional.

Sedangkan Keputusan Rektor Universitas Swasta, apakah termasuk objek gugatan peradilan tata usaha negara? Berdasarkan kaidah hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 61 K/TUN/1999, menerangkan pengangkatan Rektor Universitas Swasta diusulkan dan diangkat oleh Senat dan Yayasan PTS, dengan memperoleh persetujuan dari Pemerintah RI in casu Menteri Pendidikan. Sehingga Universitas Swasta merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah di bidang pendidikan tinggi.

Maka akibat hukumnya, Surat Keputusan Rektor Universitas Swasta dapat dikualifisir sebagai Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN), yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

Yurisprudensi MA RI tersebut, diputus oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai oleh H. German Hoediarto, S.H., dengan didampingi Hakim Anggota Mangatas Nasution, S.H. dan Hj. Ermin Aminah Achadijat, S.H., dalam sidang terbuka untuk umum, pada 22 November 1991. Kaidah hukum Yurisprudensi MA RI tersebut, diikuti juga Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 210 K/TUN/2001, yang mengadili sengketa antara Henki Idris Issakh melawan Rektor Universitas Tarumanegara Jakarta.

Semoga kaidah hukum Yurisprudensi MA RI tersebut, yang diakses penulis melalui buku Kompilasi Hukum Putusan Mahkamah Agung RI, Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad, karya M. Ali Boediarto, dapat menjadi referensi bagi hakim dalam mengadili perkara serupa atau bermanfaat bagi para pembacanya. (Adji Prakoso)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here