Tiga Agresi Terhadap Warisan Peradaban Manusia

0
132
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015

Sembilan pembicara yang tampil menjadi nara sumber dalam webinar, 25 Mei 2025. Webinar yang digawangi Forkom IDI ini diikuti lebih 500 peserta. Berlangsung dari pukul 18.30 WIB (ba’da magrib) dan berakhir menjelang larut malam.

Topiknya cukup serius. Membahas isu krusial berkaitan pernyataan sikap 365 Guru Besar Kedokteran, di FKUI (16 Mei 2025). Bagai bola salju, pernyataan sikap tersebut bergulir sangat cepat, hingga para guru besar dan civitas akademik di kampus lain pun menyampaikan sikap yang sama.

Rupanya peryataan sikap (16 Mei 2025) tersebut masih berlanjut. Dan, entah kapan berakhirnya. Kamis (12 Juni 2025) kemarin, kembali dilangsungkan pertemuan dengan d pembacaan Deklarasi Guru Besar Kedokteran, di FKUI, yang isinya lebih serius lagi, sebab sudah menyatakan tidak percaya Menkes BGS.

Kembali pada webinar (25 Mei 2025). Saat itu penulis kebagian tugas untuk menjadi salah satu penangggap. Agar tanggapan tidak terkesan siaran ulangan, penulis berusaha agar tidak mengulangi apa yang penulis telah utarakan pada pertemuan terdahulu. Pun, berusaha untuk tidak mengulang-ulang pembicaraan nara sumber lain. Karena itu, penulis menyodorkan topik, “Tiga Agresi Terhadap Warisan Peradaban Manusia.” Agreasi yang dimaksud dapat berupa serangan fisik maupun non fisik.

Tiga agresi tersebut, yaitu: Agresi Gubernur Abrahah terhadap Kota Mekkah, agresi tentara pendudukan Jepang terhadap organisasi dokter dan sekolah kedokteran, serta agresi Menteri Kesehatan terhadap IDI, kolegium, dan institusi pendidikan kedokteran.

Gubernur Abrahah terhadap Kota Tua Mekkah

Gubernur Abrahah adalah pengusa Yaman. Konon ketika itu Yaman merupakan wilayah dari Kerajaan Abisinia. Pertanyaannya, ada apa di Kota Tua Mekah sehingga penguasa Yaman ini sangat bernafsu untuk menyerangnya? Jawabannya, ada bangunan kuno , yang terbuat dari batu bernama Ka’bah.

Dalam beberapa referensi, pondasi bagunan kuno Ka’bah bangun oleh moyang umat manusia, Adam, As. Dan, atas perintah Allah SWT, pondasi Ka’bah ditinggikan oleh bapak monoteisme dan bapak para nabi Ibrahim As. bersama putra sulungnya Ismail, As.

Bangunan Ka’bah ini merupakan kiblat, simbol persatuan, dan rumah ibadah agama monoteisma. Pada musim haji bagunan ini ramai dikunjungi umat manusia untuk berhaji , berziarah, berwisata religius. Sebagai bangunan kuno, Ka’bah merupakan warisan sejarah peradaban umat manusia.

Terus apa pentingnya bagi Abrahah sebagai penguasa Yaman? Kota Mekkah sebagai tujuan berhaji, beziarah, dan berwisata spiritual, secara ekonomi tentu memberi keutungan finansial bagi penguasa kota Mekkah dan juga bagi penduduknya. Secara politik menjadikan Kota Mekkah makin tersohor dan memiliki pengaruh besar terhadap kawasan dan negeri-negeri sekitarnya. Kota Mekkah dan penguasanya tentu lebih populer dibanding Abrahah sebagai penguasa Yaman.

Bila terdengar kabar bahwa di kota Yaman, Gubernur Abrahah juga membangun sebuah katedral bernama al-Qulays (dari bahasa Yunani: “ekklesia”) untuk menandingi Ka’bah. Kaderal ini dibangunan di atas reruntuhan Kota Ma’arib kuno. Kota yang sebelumnya tersohor karena bendungan Saba’-nya. Karena pentingnya kota Saba’ dan bendungan Saba’ sehingga Allah SWT mengabadikan namanya menjadi salah satu nama surah di dalam al-Qur’an, surah Saba’.

Walau bangunan al-Qulays terbilang mewah, ternyata tidak mampu menggantikan fungsi dan daya tarik Ka’ba di Kota Mekkah. Al-Qulays sepi pengunjung. Boro-boro memperoleh keuntungan finansial dan pengaruh. Yang didapat hanya kerugian materil. Bila kondisi ini tersiar sampai ke telinga penguasa dan penduduk negeri tetangga tentu bukan pujian yang diterima melainkan cemoohan.

Dari sini dapat dipahami mengapa Gubernur Abrahah sangat cemburu dan naik pitam. Belum lagi karena posisinya sebagai gubernur di bawah kerajaan Abisinia, tentu malu dan citranya jadi buruk. Tidak ada prestasi yang dapat dilaporkan kepada raja atau presidennya.

Jadi, di sini ada pengaruh atau kekuasaan yang harus dicitrakan agar tidak kena reshuffle (dicopot) atau setidaknya tidak kehilangan muka di depan kolega dan rakyatnya. Dan, tentu saja ada motif mencari keuntungan dari bisnis dari wisata al-Qulays. Semoga saja uang yang dipakai membagun al-Qulays bukan utang pinjaman dari inventor yang harus dikembalikan saat jatuh tempo.

Tentara Pendudukan Jepang terhadap Organsasi Dokter dan Sekolah Kedokteran

Sebetulnya, apa persoalan tentara pendudukan Jepang sampai harus menyerang organisasi dokter dan sekoleh kedokteran ini? Hemat penulis, persoalannya cukup banyak, antara lain:

Pertama, tentara Jepang sangat curiga kepada sekolah kedokteran dan lembaga penelitian medis, seperti Eijkman. Eijkman dianggap memiliki pengetahuan dan informasi yang membahayakan kepentingan Jepang sebagai penjajah. Jadi, jelas bahwa tentara penjajah sangat takut kalau orang pribumi memiliki pengetahuan dan menguasai informasi.

Kedua, organisasi dokter dan sekolah dokter merupakan warisan kemanusiaan dan warisan sejarah peradaban bangsa Indonesia, yang dapat membentuk jiwa, karakter, kesadaran dan nasionalisme bangsa Indonesia untuk merdeka.

Ketiga, Jepang ingin memanamkan ideologi fasismenya, namun mereka tahu kalau organisasi dokter dan sekolah kedokteran masih eksis, bakal menemui kendala. Tentara Jepang sangat benci yang berbau nasionalisme Indonesia.

Keempat, selain tidak suka yang berbau nasionalisme Indonesia, tentara Jepang juga tidak suka yang berbau Eropa. Karena itu organisasi dokter yang semula berbahasa Belanda seperti Vereeniging Indonesische Geneeskundigen (VIG) yang diketuai dr. Abdul Rasyid harus melunak, dalam hal ini dibekukan.

Karena itu, dr. Abdul Rasyid dan kawan-kawan kemudian mengubah nama VIG menjadi Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia). Nama Perthabin pun tak bertahan lama, sehingga harus diganti menjadi Izi Hokokai atau Djawa Izi Kokokai (1943). Meski masih tetap dibawah kepemimpinan dr. Abdul Rasyid.

Dari kisah agresi tentara pendudukan Jepang terhadap organisasi dokter dan sekolah kedokteran, setidaknya tersimpan dua motif utama: Pertama, motif kekuasaan. Jepang ingin terlihat memiliki pengaruh besar di mata dunia. Saat itu Jepang sedang melancarkan propaganda Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia).

Kedua, motif mencari sumber ekonomi, berupa hasil perkebunan dan pertambangan (terutama minyak bumi) untuk membiayai propaganda Gerakan Tiga A dan ketelibatan Jepang dalam Perang Dunia II, serta membiayai dindustrinya.

Menkes BGS terhadap IDI, Kolegium, dan Institusi Pendidikan Kedokteran

Selama ini, di Indonesia, Menkes selalu bergandengan tangan dengan organisasi profesi dokter. Pun dengan organisasi profesi kesehatan lain dan institusi pendidikan kedokteran guna merancang program pembangunan kesehatan nasional dan pelaksanaanya.

Karena itu, serangan Menkes BGS terhadap IDI, kolegium, dan istitusi pendidikan kedokteran dapat dikatakan sebagai fenomena baru di Indonesia. Bahkan mungkin fenomena baru di seluruh dunia. Sebelum kita menduga atau mengira-ngira motif penyerangan Menkes BGS terhadap IDI, kolegium, dan institusi pendidikan kedokteran, sebaiknya kita bahas dulu ada apa di IDI, kolegiun, dan institusi pendidikan kedokteran?

Di IDI, ada kolegium pengampu keilmuan untuk masing-masing disiplin ilmu, ada perhimpunan yang mengurus pelayanan dan standar-standarnya, ada Majelis Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) yang mengampu masalah etik. Ada pula sejarah panjang yang terhubung dengan sejarah perjuangan kemerdekan, bahkan sejarah kebangkitan nasional Indonesia. Kabar baiknya, perhimpunan dan MKEK nyaris tak pernah mendapat serangan.

Mengapa dan ada apa di kolegium? Setiap kolegium disiplin ilmu terhimpun di dalamnya para guru besar disipin ilmu tersebut. Juga ada para ketua progam studi dan pakar dalam disiplin ilmu tersebut. Mereka bekerja secara otonom dan independen untuk memajukan dan mengembangkan keilmuannya.

Sementara di MKEK, ada para dokter senior dan guru besar yang arif dan bijaksana. Mereka memliki pemahaman mendalam tentang etik, perperilaku, disiplin, dan hukum kedokteran dan kesehatan. Mereka juga merupakan teladan, panutan, serta role model dalam penerapan etik kedokteran.

MKEK secara independen menyusun dan menerapkan aturan-aturan etik dan kode etik kedokteran (Kodeki). Mereka secara suka rela membimbing para dokter agar selalu berperilaku baik dalam kesehariannya.

Soal uang besar. Sebenarnya tidak ada uang besar di IDI dan kolegium sebagaimana yang sering diframing oleh Menkes BGS. Sebab, IDI dan kolegium bukan perusahaan atau perseroan yang dibentuk untuk mencari uang. Kalaupun ada uang, itu hanya sekadar untuk biaya opersional kantor dan menggaji pegawai setiap bulannya. Pengurus IDI dan kolegium tidak ada yang digaji. Kalau mereka diundang rapat, paling disediakan makan dan snack serta pengganti tranpor atau bensin.

Tapi, di IDI dan kelegium terdapat banyak besar, yang tidak pernah kering. Di sana berkumpul orang-orang yang cerdik pandai lagi bijaksana. Ada warisan kemanusiaan, warisan sejarah peradaban, dan ada sumber insani pembangunan kesehatan Indonesia. Dunia mengenal dan mengakui IDI dan kelegium ini. Di sana juga ada ketulusan dan kehormatan yang selalu dipertaruhkan.

Terus, bagaimana di institusi pendidikan kedokteran? Di sana ada assosiasi institusi pendidikan kedokteran (AIPKI) sebagai wajah tunggalnya. Ada pimpinan dari masing-masing institusi pendidikan, ada ketua program studi, ketua departemen, dan guru dan guru besar. Dan, tentu ada peserta didik. Di institusi pendidikan juga kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Di sana pula terletak pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian kedokteran, yang sangat ditakuti oleh tentara pendudukan Jepang di masa lalu. Ada pula transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dan, juga ada transfer etik/perilaku kepada peserta didik.

Terkait dengan guru atau guru besar. Di sini terdapat hal yang sangat unik. Unik karena terdapat kewajiban menghormati guru dan teman sejawat. Kewajiban yang bukan saja sebagai kewajiban biasa, melainkan kewajiban yang bersumpah.

Setiap dokter secara khusus bersumpah untuk menghormati gurunya. Dan, jika gurunya itu adalah dokter maka gurunya itu adalah teman sejawatnya. Mereka pun pun terikat sumpah untuk menghormatinya gurunya sebagai teman sejawat. Sumpah untuk memperlakukannya sebagai saudara kandungnya sendiri. Memang, orang yang tidak pernah menjadi bagian dari suatu profesi tentu sangat awan akah hal ini. Atau bisa juga berpura-pura meng-awankan diri.

Melihat eratnya hubungan antara dokter dengan IDI, kolegium, dan istitusi pendidikan, maka sulit rasanya membayangkan untuk dapat diruntuhkan. Walau kalau ada orang atau kelompok orang yang punya niat buruk tentu dapat saja melakukanya. Setidaknya mengganggu reputasi IDI, kolegium, dan istitusi pendidikan kedokteran.

Mulai dari memecah belah dokter. Melemahkan hubungan kesejawatan, melemahkan hubungan murid dan guru, memperhadap-hadapkan antar disiplin ilmu. Mempertentangkan antara dokter umum dan dokter spesialis, dan seterusnya.

Di luar itu, mereka pun dapat melakukan framing negatif terhadap dokter Indonesia, terhadap IDI, kolegium, dan institusi pendidikan kedokteran. Untuk apa? Agar masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia tidak memercayai dokter Indonesia dan lebih percaya kepada yang berbau asing, naturalisasi dokter asing..

Agar pejabat negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan para elit negeri kehilangan kepercayaan terhadap dokter Indonesia, kolegium, dan institusi pendidikan kedokteran Indonesia. Tujuannya apa? Untuk mengganggu reputasinya. Kemudian mengambil alih, menguasai, dan megendalikan sesuai kepetingan.

Pertanyaannya, apa kepentingan Menkes BGS? Jawabnya, hanya Menkes BGS dan Tuhan yang paling tahu. Walau semua orang dapat mendengar dan membaca pernyataan BGS atau orang dekatnya, kemudian menduga dengan menghubungkannya.

Penulis sendiri beranggapan bahwa besar kemungkinan adanya motif kekuasaan. Dan juga motif bisnis-ekonomi. Untuk apa memiliki motif kekuasaan itu? Untuk mempertahankan pengaruh dan posisinya sebagai Menkes dan untuk melancarakan agenda-agenda bisnisnya. Mungkin beliau juga berpikir bila tidak menyerangnya maka kedua agendanya itu sulit terlaksana.

Terbitnya Surat Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes N0. TK.04.01/D.IV/795/2024, yang pada paragraf pertama surat tersebut tertulis, “Sehubungan dengan pelaksanaan Tranformasi RS Vertikal dan untuk meningkatkan kualitas pelayanan RS Vertikal, sesuai arahan dari Bapak Menteri Kesehatan maka RS Vertikal perlu melakukan pengukuran produktivitas dokter spesialis dan utilisasi alat kesehatan terutama alat kesehatan canggih. Hal ini bertujuan agar Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, manajemen dan direksi RSV dapat mengevaluasi secara berkala produktivitas dokter spesialis dan utilisasi alat kesehatan di RSV dan memastikan bahwa keduanya telah berjalan optimal.”

Bila kita perhatian baik-baik surat tersebut tampak sangat kuat motif bisnis, yang mendorong rumah sakit mencari untung di atas penderitaan pasien. Lebih serius dari itu adalah berpotensi mendorong dokter spesialis melakukan moral hazard yang merugikan pasien dan merugikan BPJS Kesehatan. Kebijakan ini juga sangat berbeda dengan Menkes sebelumnya, yang selalu mewanti-wanti para dokter agar berhati-hati, jangan sampai melakukan moral hazard.

Dan yang tak kalah seriusnya, ia berpotensi mendorong dokter speislais dan rumah sakit melakukan perbuatan pidana. Ini baru satu contoh kecil. Terus pertanyaanya, untuk apa motif bisnis-ekonomi itu dilakukan? Jawabnya, untuk menguatkan kekuasaan dan agenda bisnisnya itu sendiri.

Catatan Akhir

Agresi terhadap warisan kemanusiaan dan sejarah peradaban manusia yang dilakukan oleh: Gubernur Abrahah terhadap bangunan tua Ka’bah, tentara pendudukan Jepang terhadap organisasi dokter dan sekolah dokter, dan Menkes BGS terhadap IDI, kolegium, dan institusi pendidikan kedokteran, tampaknya memiliki kemiripan motif: kekuasaan dan bisnis-ekonomi.

Terkait Menkes BGS. Muncul pertanyaan, apakah seorang Menkes memang perlu menyerang IDI, kolegium, dan institusi pendidikan kedokteran seperti yang dilakukan BGS? Tentu saja sangat tidak perlu. Dan, tidak pernah ada satu pun Menkes yang melakukan hal semacam itu sebelumnya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada masalah lalu yang menjadi mitra kolegium dalam mengembangkan pendidikan dokter spesialis tidak pernah melakukan. Ia bahkan mempercaya kolegim untuk bekerja secara otonom.

Demikian halnya institusi pendidikan kedokteran yang secara terang benderang berada di bawah Mendikbud pun tidak mengintervensi. Bahkan diajak berdialog dan dibiarkan berkerja sesuai dengan kebebasan akademik yang melekat padanya.

Karena itu, Menkes pun tidak selayaknya mengintervensi dan framing negatif kolegium dan institusi pendidikan kedokteran sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh Mendikbud. Biarlahlah kolegium dan institusi pendidikan kedokteran berkreasi dan berinovasi mengembangkan keilmuan dan pendidikan kedokteran di Indonesia.

Bila Menkes BGS ingin mengusulkan suatu gagasan, usulkan saja secara langsung. Atau undang mereka berdialog. Atau bisa juga gagasan itu disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (kini Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI), yang menjadi mitra kolegium dan institusi pendidikan kedokteran dalam mengurus pendidikan dokter. Begitu pula bila ingin mengusulkan sesuatu kepada IDI silakan saja bertemu dan berdialog setara.

Pada akhir diskusi moderator bertanya kepada penulis, apa yang harus dilakukan bila Menkes BGS masih sulit diajak berdialog? Penulis menjawab, bila Menkes BGS tidak mau atau sulit berdialog setara mungkin beliau tidak cocok menjadi Menkes. Sebab, stakeholder utama Menkes itu adalah para dokter dan profesi kesehatan, yang selalu mengutamakan dialog tanpa saling merendahkan, untuk menemukan solusi. Wallahu a’lam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here