Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Mengandung Cacat Bawaan UUD NRI 1945

0
39
- Advertisement -

 

Kolom Dr. Asrullah S.H., M.H.

Pakar Hukum Tata Negara & Senior Counsel Law Firm Rudal and Parthner)

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian kumulatif UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pengujian UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada mengaddresat Pasal 167 Ayat (3), serta Pasal 347 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 3 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Substansi Putusan MK tersebut membuat guidance Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional) terhadap 3 Pasal dari 2 UU a quo yang diuji oleh Perludem dengan menyatakan :

> “Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”.

Problem yang muncul dari Putusan MK tersebut, bukan karena putusan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, tetapi adanya ketentuan yang dibuat oleh MK terkait syarat batas waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan pelaksanaan pemilu lokal setelah Pemilu Nasional.

Artinya, secara hukum, putusan MK memandatkan adanya transisi pemilu nasional dan pemilu lokal diantarai jarak waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pemilu nasional dilaksanakan.

Syarat inilah yang mengandung problematika sekaligus cacat bawaan terhadap UUD NRI 1945.

Dalam Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945 mengatur orkestrasi konstitusional Pemilu secara expresive Verbis dan limitatif.

Pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E Ayat 1 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa :

> “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum. bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali” Pada Ayat 2 menyatakan “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD”, pada Ayat (3) menyatakan “Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah Partai Politik”.

Jika mengoptik Putusan MK berdasarkan tafsir gramatikal, tafsir sistematis, dan tafsir historis yang juga sering digunakan oleh MK dalam putusannya, justru paradoks, diametral sekaligus menyimpangi ketentuan dan nafas konstitusionalisme pemilu sebagaimana yang dimandatkan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945.

Penjelasannya, karena Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan Pemilu haruslah dilaksanakan secara langsung melalui pemungutan suara yang pelaksanaannya 5 tahun sekali, jika terdapat jeda 2 tahun ataupun 2 tahun 6 bulan sebagai fase transisional sebagaimana putusan MK, maka masa jabatan anggota DPRD sebagai salah satu dalam rezim Pemilu yang dimaksud dalam ayat tersebut, bertentangan dengan maksud ketentuan Pasal 22E ayat (1) karena melampaui masa periode 5 tahun.

Pada Ayat (2) mengandung makna bahwa Pemilu yang diselenggarakan secara langsung salah satunya adalah memilih anggota DPRD dengan periodesasi 5 tahun sebagaimana mandat ayat (1), artinya UUD membatasi mandat jabatan anggota DPRD secara absolut selama 5 tahun sejak pelantikan.

Ketiga, pada Ayat (3) mengandung makna Pemilu anggota DPR dan anggota DPRD adalah Partai Politik, sehingga, metode pengisian jabatannya melalui pemilihan yang disebut sebagai elected public official, bukan selected official.

Makna elected official dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 aksiomatik mengharuskan pengisian jabatan pada organ negara melalui pemilihan umum secara langsung dan tidak membuka opsional ataupun alternatif perpanjangan masa jabatan organ rezim pemilu salah satunya anggota DPRD secara selected atau ditunjuk.

Dengan demikian, keabsahan dan legitimasi seorang anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan anggota DPRD jika di daulat dan mendapatkan mandatnya melalui Pemilu secara langsung. Sehingga, ketentuan Syarat yang dibuat oleh MK berdasarkan putusan a quo justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945.

Ketiga, secara Historis, transplantasi secara tegas dan limitatif makna pemilu organ negara yang didaulat melalui pemilu dan periodesasinya sebagai koreksi atas pelaksanaan sistem pengisian jabatan publik – politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan aspirasi bottom up rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Problem ketatanegaraan berikutnya yang muncul akibat putusan MK yakni, bagaimana menginstrumental pengisian masa jabatan anggota DPRD jika ada masa jeda 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan, yang secara limitatif tidak dibuka ruang oleh UUD khususnya masa jabatan.

Hal ini yang perlu dirumuskan dan MK harusnya membuat suatu Constitutional Compliance (Penjelasan resmi atas Putusannya kepada Pembentuk UU ; DPR dan Presiden) agar tidak terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945 sekaligus krisis keabsahan dan legitimasi anggota DPRD pada periode berikutnya.

Kedua, Perlunya suatu Constitutional Engineering (Rekasa Konstitutional) pada revisi UU Pemilu dan UU Pilkada agar tetap menjaga konsistensi dan persistensi terhadap UUD NRI 1945 dan tetap menjaga marwah serta wibawa MK sebagai peradilan konstitusional yang kredibel dan terhormat.

Terkait peran MK sebagai Negative Legislator atau Positive Legislator dalam pengujian UU a quo, rancang bangun awal MK didudukkan sebagai Negative Legislator (hanya menyatakan pembatalan suatu ketentuan UU terhadap UUD) dan tidak membuat norma baru karena menjadi domain dari DPR bersama Pemerintah.

Namun dalam dinamika peradilan konstitusional modern, Peradilan MK diberbagai negara termasuk di Indonesia telah mengakui dan menganut Instrumen Judicial Activism yang melegitimasi peradilan konstitusional MK untuk membuat norma baru ataupun panduan konstitusionalitas norma, salah satu kasus yang terkenal dalam sejarah peradilan konstitusional adalah perkara Marbury dan Madison di Amerika yang melahirkan Landmark Decision dengan berpijak pada Judicial Activism dimana MK melahirkan norma baru.

Namun hal tersebut tidak boleh menyimpangi apalagi bertentangan secara vis a vis dengan ketentuan UUD 1945 itu sendiri.

Inilah problematika sesungguhnya putusan MK in case pada Putusan pengujian UU a quo.

Bagi MK sebagai The Guardian and Protector of The Constitution atau penjaga tegaknya ketentuan dan nilai konstitusi dan konstitusionalisme, seharusnya lebih arif dan menggunakan kebijaksanaan konstitusionalnya (Constitutional Wisdom) sehingga tidak menggunakan instrumen kedudukan Final dan Binding (mengikat) Putusannya sebagai senjata the primus untuk mendilematisasi stakeholeder bernegara terhadap objek yang diuji terhadap UDD 1945, apalagi nyata menyimpangi ketentuan UUD NRI 1945.

MK harusnya mengingat asas hukum “Lex Clara Non Sunt Interpretanda” artinya “Jika suatu ketentuan hukum sudah jelas dan tidak menimbulkan keraguan, maka tidak perlu dilakukan penafsiran lebih lanjut”, karena menafsirkannya justru menimbulkan ketidakpastian baru.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here