Petualangan Agam Rinjani, Pahlawan Brasil dari Antang

0
1342
- Advertisement -

PINISI.co.id- Dari Agam Rinjani, kita belajar bagaimana menjalani hidup dengan sederhana, tanpa pretensi, dan tulus dalam rasa syukur.

Lelaki ceking berambut gondrong ini melewati hari-harinya dengan apa adanya, tanpa berusaha menjadi orang lain, tanpa hasrat membuktikan diri kepada siapa pun. Ia tak peduli mengejar pengakuan, apalagi pujian, alih-alih dengan polesan seperti banyak penguasa tanggung yang membangun citra palsu lewat konten-konten norak.

Namanya tiba-tiba jadi pembicaraan di seantero Brasil setelah pada 24 Juni 2025, Agam berhasil mengevakuasi jenazah Juliana Marins, pendaki Brasil yang terperosok ke jurang sedalam 600 meter di Gunung Rinjani, Lombok. Ia turun ke dalam kabut, merangkak di medan yang hampir mustahil, hanya berbekal keberanian yang lahir dari kecintaan. Bersama timnya, ia menjaga jenazah semalaman di bawah hujan batu. “Kami bisa saja lewat kalau batu menerpa kepala, ” katanya lirih.

Ia tidak pernah berkata “saya”, tetapi selalu “kami” ketika menceritakan penyelamatan Juliana; menandakan bahwa ia tak merasa jumawa. Saat itu, ia buru-buru terbang ke Rinjani dengan biaya sendiri dari Jakarta, begitu mendengar seorang pendaki jatuh, —padahal sudah hari ketiga korban terperangkap di jurang.

Video permintaan maafnya kepada keluarga Juliana di Brasil yang begitu tulus karena merasa tak kuasa menyelamatkannya membikin banyak orang terharu dan terisak.

Warga Brasil pun menggalang donasi untuknya hingga terkumpul lebih dari 1,5 miliar rupiah. Agam sempat menolak. Baginya, setiap nyawa yang ia pulangkan adalah doa yang cukup sebagai upah. Kalau pun donasi itu ada, ia gunakan untuk membeli peralatan penyelamatan dan sisanya untuk membeli bibit pohon demi menghijaukan Rinjani.

Banyak warga Brasil mengundangnya ke sana; bahkan sebagian mendesak Presiden Luiz Inacio Lula da Silva
untuk mengajak Agam ke negeri mereka. Di negeri Samba itu, ia dijuluki sebagai hero.

Juliana bukan satu-satunya. Tak kurang 11 mayat yang ia evakuasi selama ini dan tak terhitung pendaki yang patah tulang yang diselamatkan Agam.

Lahir di Makassar pada 22 Desember 1988 dengan nama kecil Abdul Haris, sejak bocah ia dipanggil Ucok, tumbuh di dekat tempat pembuangan sampah Antang dan hidup memulung. Dari sanalah petualangannya dimulai. Ia belajar kerasnya hidup sejak remaja: menjadi sopir pengganti truk sampah, berpeluh di jalanan kota demi membantu keluarga.

Tak dinyana, Agam melangkah ke Universitas Hasanuddin, jurusan Antropologi, tidur di sekretariat Mapala. Tahun 2011, untuk pertama kalinya ia menapakkan kaki di Gunung Rinjani; di sanalah jiwanya tertambat dan jatuh cinta pada salah satu ciptaan Tuhan yang agung.

Setelah lulus, ia memilih kembali ke Lombok karena pekerjaan sebagai satpam bank tak memberinya ruang bernapas. Ia lalu mengganti namanya menjadi Agam — Anak Gammara.

Hidupnya penuh warna dan filimis. Agam mirip tokoh dalam cerita-cerita Anton Chekhov, penulis besar Rusia, yang dikenal sebagai penggubah kisah-kisah sederhana, tetapi diam-diam menyimpan pergulatan batin dan ironi. Dalam banyak cerpennya, Chekhov menghadirkan kehidupan sehari-hari sebagai sesuatu yang konyol sekaligus menyedihkan — sebuah komedi-tragedi. “Mari kita belajar melihat hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya,” kata Chekhov.

Sebab itu, untuk bisa makan dan numpang tidur, Agam jadi tukang cuci piring di warung makan di Bali. Dengan uang 20 ribu, ia menumpang truk ke Lombok. Di Senggigi, ia tinggal dengan tendanya di pinggir pantai, hidup subsisten dengan memancing, sambil memberdayakan nelayan. Pernah juga ia ditawari menikah oleh seorang juragan, tapi Agam menganggap istrinya adalah kebebasannya.

Jenuh, ia akhirnya ke Sembalun, kaki Gunung Rinjani. Ia menjaga kebun, gratis menetap di situ, dan membangun rumah dari kayu hutan.

Dalam sebuah video call, ibunya berkata ingin jalan-jalan ke Lombok.

“Saya mau ke rumahmu, tinggal di mana ko kah?” tanya ibunya dengan logat Makassar.

“Saya tinggal di hutan. Nanti Ibu menginap di hotel saja,” jawab Agam sekenanya.

“Tidak mauka. Saya mau di rumahmu saja,” tukas ibunya.

Ibunya tak tahu, rumah Agam sangat luas dan lapang. Di bawah terasnya, tampak kaki langit Rinjani berikut dengan danau biru, di antara kabut dan semilir angin, di sanalah ia tinggal. Agam menjadikan gunung bukan hanya rumah, tetapi juga medan pengabdian.

Ia kemudian menjadi porter, pemandu, operator tur, dan relawan. Hingga 2024, ia sudah mendaki Rinjani lebih dari 574 kali, mencapai puncak lebih dari 352 kali. Kadang tiga kali seminggu, atau sebulan sekali, tetapi setiap kali kembali, gunung menyambutnya seperti sahabat lama.

Namun Agam bukan sekadar pemandu. Ia adalah penyelamat, pengantar pulang mereka yang tak lagi mampu kembali sendiri. Ia rela turun ke jurang-jurang curam untuk membawa siapa pun kembali, bahkan ketika relawan patah arang.

Sebelumnya, pada Agustus 2022, ia juga mengevakuasi pendaki Israel yang jatuh ke jurang sedalam 160 meter. Semua ia lakukan dalam diam, tanpa gembar-gembor, karena baginya: siapa pun yang datang ke gunung adalah keluarga. Tak jarang ia sebagai nara sumber untuk konservasi alam dan penyelamatan nyawa.

Kini orang mengenalnya sebagai penjaga Rinjani, lelaki yang berdamai dengan hidupnya. Dalam kata-katanya yang liris, ia pernah bilang. “Di gunung ini, kita semua sama. Yang penting bukan siapa yang paling cepat sampai puncak, tetapi siapa yang berani turun ketika ada yang tertinggal.”

Dan di sanalah Agam akan selalu berada, di jalur-jalur berbatu, di tebing curam yang hebat dan bukit-bukit cadas.

Petualangan Agam tentu saja belum berakhir, sampai kelak suatu hari yang basah, ia akan menemukan pencipta-Nya dalam keabadian.

(Alif we Onggang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here