Menata Kolegium Mencegah Negara dalam Negara: Benarkah?

0
128
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015

Menata Kolegium Mencegah Negara dalam Negara. Inilah topik diskusi daring yang agak serius, 24 Mei 2025. Channel KHC selaku penyelenggara mengangkat topik ini untuk mendikusikan artikel seorang dokter. Sayang sekali pada malam itu, sejawat yang menulis artikel tersebut tidak bersedia menjadi nara sumber dan bertukar pikiran terkait artikelnya. Hal ini diungkap oleh host/moderator, dr. Hadiwijaya pada awal acara.

Sebetulnya, para nara sumber kurang besemangat mendiskusikan artikel ini, sebab penulisnya tidak hadir. Namun, karena sudah beredar di media sosial, yang seolah-olah benar, maka terpaksa ikut mendiskusikannya. Setidaknya untuk meluruskan atau memberi informasi yang berimbang. Mengapa perlu informasi berimbang? Sebab, bila tidak ada informasi lain sebagai pengimbang, dikhawatirkan informasi yang bias dan keliru pun dapat dianggap kebenaran.

Sebagai salah satu penanggap malam itu, penulis hanya menanggapi dua hal: Pertama, terkait narasi anggapan kolegium sebagai negara. Kedua, terkait anggapan bahwa seolah-olah kolegium belum tertata atau belum diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Kolegium sebagai Negara dalam Negara

Kita mulai saja dari pengertian negara menurut Plato, murid Socrates. Penulis buku Republik ini merupakan pencipta ajaran alam cita-cita (ideeenleer) atau disebut juga aliran filsafat idealisme ini, timbulnya negara karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang beraneka ragam, menyebabkan mereka harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhanya.

Karena adanya keinginan manusia yang harus dipenuhi, maka menurut Plato luas negara harus diukur dan disesuaikan dapat tidaknya kebutuhan itu dipenuhi. Atau dapat tidaknya negara memelihara kesatuan di dalam negara, sebagai suatu keluarga besar. Karena itu, negara tidak boleh mempunyai luas daerah yang tak terbatas. Artinya harus memilik luas wilayah yang jelas.

Selanjutnya, negara menurut Aristoteles. Penulis buku Politik ini melanjutkan pandangan gurunya, Plato. Namun, ia sudah bergeser dari ajaran idealisme ke realisme. Aristoteles beranggapan bahwa negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya, supaya dapat hidup baik dan bahagia. Negara merupakan suatu kesatuan, yang tujuannya untuk mencapai kebaikan yang tertinggi, yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota dari negara.

Setelah Plato dan Aistoteles, pengertian dan teori negara semakin maju dan berkembang. Sampai kepada hakikat suatu negara, yang merupakan wadah bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan bangsanya. Dari sini kemudian berkembang lagi pemikiran bahwa hakikat suatu negara mesti berhubungan dengan tujuan suatu negara. Karena itu, tujuan negara merupakan kepentingan utama suatu negara. Tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejehteraan dan kebahagiaan rakyatnya atau menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur.

Tentu saja para pendiri bangsa Indonesia telah mempelajari, mengkaji, dan mendialogkan betul semua pemikiran dan teori-teori negara yang ada. Mulai dari yang klasik sampai kepada konsep negara idealnya Al-Farabi dan teori-teori negara demokrasi modern lainnya. Kemudian merumuskan tujuan dibentuknya negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD Negara RI, Tahun 1945, yang sekaligus menjadi tujuan dibentuknya pemerintahan.

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Selanjunya, terkait dengan unsur-unsur pembetuk negara. Menurut Mac Iver, sebuah negara harus memiliki tiga unsur pokok, yaitu: wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Pemerintahanlah yang akan mewujudkan tujuan negara.

Bila kita simak pemikran, Plato, Asistoteles, hakikat negara, tujuan negara, dan unsur-unsur pembentuk negara, sepertinya tidak ditemukan adanya tanda-tanda kalau kolegium itu merupakan negara. Tidak ada indikasi bahwa kolegium akan menjadi negara dalam negara, sebagaimana artikel tulisan yang telah beredar di media sosial. Dari segi unsur sebuah negara saja tidak ditemukan indikasi itu. Tidak ada batas wilayah, tidak ada rakyat, dan tidak pemerintahan negara kolegium.

Kolegium Perlu Ditata

Bahwa penataan kolegium perlu selalu disempurnakan, tentu saja ya. Semua dapat menerimanya. Tapi kalau dibangun narasi seolah-olah kolegium tidak tertata. Dan, seolah-olah tidak memiliki landasan regulasi, tentu keliru.

Jika puluhan tahun lalu, pada fase-fase awal pembentukan kolegium mau dikatakan penataannya masih sederhana dan minim regulasi, itu juga dapat diterima. Karena ketika itu semua disandarkan atas kepercayaan. Kepercayaan akan ketulusan dan kompetensi dari pengurus kolegium itu sendiri. Kepercayaan bahwa kolegium cukup diwadahi atau berada di lingkungan organisasi profesi yang mencetuskannya. Ditawarkan kepada pemerintah atau lembaga lain belum tentu ada yang bersedia mewadahinya.

Megapa? Karena ketika itu kolegium masih seperti “makhluk baru” di lingkungan pendidikan kedokteran. Karena profesi yang mencetuskan dan IDI organisasi profesi dokter satu-satunya maka disepakatilah untuk menempatkannya di IDI. Karena itu, di IDI-lah kolegium itu tumbuh dan berkembang sampai semua disiplin ilmu memliki kolegium. IDI menyaratkan setiap disiplin ilmu yang hendak menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis, harus terlebih dulu membetuk kolegium. Juga sudah ditetapkan kriteria dokter yang dapat diangkat menjadi anggota kolegium.

Terus, apakah masih dianggap tidak tertata? Hemat penulis sudah tertata. Sebab, bila tidak tertata, bagaimana bisa menjadi pengampu keilmuan, bermitra dengan institusi pendidikan kedokteran, dan dipercaya Kemendikbud selama puluhan tahun. Bagaimana mungkin masing-masing kolegium tersebut dapat mendidik dan meluluskan ribuan ribuan dokter spesialis bila kondisinya kacau balau?

Setelah lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, posisi dan penataan kolegium pun makin jelas. Di lingkungan IDI dibentuk pula Mejelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). MKKI merupakan lembaga ototom IDI, tempat seluruh kolegium berkoordinasi dan bedialog antar disiplin keilmuan. Setelah lahirnya UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, kolegium makin berkembang. UU Tenaga Kesehatan ini menegaskan bahwa kolegim itu bukan hanya monopoli profesi dokter dan dokter gigi.

Selajutnya, lahir pula UU N0. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dan UU No. 36 Tahun 2019 tentang Kebidanan, juga menyisyarakan perlunya membentuk kolegium. Karena itu, kelima UU di atas telah jelas mengatur kedudukan dan tugas masing-masing kolegium di bidang kesehatan.

Kembali ke tugas kolegium dalam profesi dokter. Sebagai bentuk kekhususan untuk mengampu disiplin ilmu maka penamaannya pun wajib menyertakan kata “ilmu” atau “logi”. Kolegium yang menggunakan kata “ilmu”, misanya: Kolegium Ilmu Kesehatan Anak, Kolegium Ilmu Penyakit Dalam, Kolegium Ilmu Kesehatan Mata, dan lainnya.

Sedang yang menggunakan “logi”, seperti: Kolegium Obstetri dan Ginekologi, Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif, Kolegium Neurologi, dan seterusnya. Semua ini adalah bentuk penataan kolegium. Secara keseluhan penataan kolegium dapat di baca di dalam Tata Laksana MKKI. Tata laksana ini selalu dikaji dan dievaluasi pada sidang Majelis Kolegium Kedokteran (MKKI) di dalam Muktamar IDI. Tidak ada tata laksana kolegium yang dirumuskan secara sembunyi-sembunyi, apalagi di tempat yang gelap.

Dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran, khusunya dokter spesialis, kolegium dan mitra kerjanya saling menata dan menguatkan diri. Di sini, Prof. F. A. Moeloek, Ketua Umum PB IDI (2003 – 2003-2006) mengenalkan tatanan budaya masyarakat Minangkabau, “Tungku Tigo Sajarangan” (kaum adat, ulama, cerdik pandai atau ilmuwan), untuk dapat diterapkan di dalam ranah profesi kedokteran.

Prof. Moeloek menyebut bahwa tungku pertama dalam “Tungku Tigo Sajarangan” pendidikan kedokteran ialah kolegium itu sendiri. Kolegium bertugas menyusun standar pendidikan dan kurikulum. Tentu tetap bersama dua tungku lainnya, hanya saja kolegiumlah sebagai penanggung jawab. Bila diibaratkan dengan masak-memasak maka kolegium bertindak sebagai pembuat resep atau penyusun menu.

Setelah standar pendidikan disusun maka kolegium menyerahkan standar tersebut kepada Konsil Kedokteran (sebagai lembaga negara) untuk mengesahkannya. Makanya, tak tangung-tanggung bila logo Konsil Kedokteran mengunakan lambang negara, Burung Garuda Pancasila. Jadi, negaralah yang punya kuasa untuk mengesahkan standar tersebut. Bukan kolegium itu sendiri dan bukan juga IDI. Setelah KKI mengesahkan barulah standar dan kurikulum tersebut dapat digunakan untuk mendidik.

Tungku kedua, institusi pendidikan. Institusi berisikan: para guru besar, dosen, dan pakar masing-masing disiplin ilmu kedokteran. Institusi pendidikan berada di bawah Kemekbud (Dikti). Walau bernaung di bawah Kemendikbud, Kemendikbud tidak serta merta mau mengintervensinya.

Kemendikbud sangat menghormati otonomi institusi pendidikan dan keilmuan para pendidik, sesuai prinsip kebebasan akademik yang berlaku. Ini adalah pendidikan berbasis universitas. Baiknya pendidikan model ini, sebab semua proses pendidikan dokter dan dokter spesialis tercatat di pangkalan data Kemendikbud. Jadi, bila ada dokter yang diragukan ijazahnya atau dicurigai gadungan, tinggal dicek ke pangkalan data Kemendikbud.

Dalam filosofi “Tungku Tigo Sajarangan,” institusi pendidikan bertugas sebagai “juru masak.” Ia menyeleksi dan menerima peserta didik yang akan didik, sesuai kapasitas dan daya tampung yang dimiliki. Mendidiknya sesuai standar pendidikan dan kurikulum yang telah disahkan oleh KKI (lembaga negara).

Tungku ketiga, rumah sakit pendidikan. Tumah sakit pendidikan merupakan tempat dokter dan dokter spesialis itu dididik. Tempat para guru besar, dosen, pakar disiplin ilmu mendidik peserta didiknya. Tempat terjadinya transfer ilmu pengetahun, keterampilan, dan perilaku. Dalam urusan masak-memasak, rumah sakit pendidikan diibaratkan sebagai “dapur” tempat memasaknya para juru masak. Memasak berdasarkan resep atau menu yang sebelumnya telah disusun oleh pembuat resep.

Masakan yang diyakini oleh juru masak sudah matang, tidak serta merta dapat langsung disajikan kepada pelanggan atau tamu undangan. Masakan tersebut terlebih dahulu harus dicicipi, dites, diuji oleh pembuat resep sendiri. Tujuannya, untuk mengetahui apakah masakan yang dipersannya sudah sesuai dengan resep yang dibuatnya. Bila belum sesuai maka pembuat resep akan meminta kepada juru masak untuk memasaknya lebih lanjut.

Setelah masakan dinyatakan sesuai resep yang dimintakan, barulah dapat dihidangkan. Pertanyaannya, apakah sikap dan tindakan pembuat resep dapat disebut berlebihan? Tentu saja tidak. Sebab, pembuat reseplah yang bertanggung jawab dan tahu persis seperti apa masakah yang dimintanya. Karena itu, pembuat resep sangat berkepentingan akan mutu dan cita rasa masakan yang dipesannya. Adalah sangat berisiko bila suatu masakan langsung dihidangkan, padahal belum dites dan diuji oleh pembuat resepnya.

Dalam konteks pendidikan kedokteran juga kurang lebih sama, kata Prof. Moeloek. Setelah peserta didik melewati semua tahapan sesuai standar dan kurikulum pendidikanya, maka penyusun standar dan kurikulum pun akan mengujinya. Melalui ujian profesi, ujian board, ujian nasional, atau apapun namanya. Tujuannya untuk memastikan bahwa dokter tersebut telah memiliki kompetensi yang memadai dan memenuhi standar kualitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan.

Tidak boleh langsung melayani masyarakat atau pasien, bila belum dinyatakan lulus atau kompeten oleh kolegium. Bila, telah dinyatakan lulus, barulah kolegium bersangkutan mengeluar secarik kertas sebagai surat keterangan dan jaminan bahwa dokter atau dokter spesialis bersangkutan telah lulus dan kompeten. Secarik kertas dari kolegium yang mengujinya ini kemudian dibawah ke Konsil Kedokteran untuk mengurus Surat Tanda Registrasi (SRT), dan seterusnya.

Bila setelah diuji namun belum dinyatakan lulus atau kompeten, maka kolegium akan meminta kepada institusi pendidikan (yang semula mendidiknya) untuk kembali mendidik sampai siap untuk diuji kembali dan dinyatakan lulus atau kompeten.

Apakah uji kompentensi yang dilakukan kolegium dapat disebut berlebih dan menghambat “produksi” dokter dan dokter spesialis? Jawabnya tidak berlebihan. Sebab, bila uji tidak dilakukan atau sudah diuji namum belum lulus, belum kompeten, tentu dapat membahayakan pasien. Karena itu uji kompetensi dilakukan demi keselamatan pasien. Demi meningkatkan kepercayaan masyarakat. Demi harkat profesi kedokteran dan juga demi melindungi dokter itu sendiri.

Lalu, mengapa kolegium yang harus menguji? Jawabnya, karena kolegium yang bertanggung jawab penyusunan standar dan kurikulum serta lebih tahu isi standar dan kurikulum tersebut. Lalu, mengapa kolegium pula yang mengeluarkan surat keterangan kompeten? Jawabnya, karena kolegium yang mengujinya. Tentu sangat aneh bila ada pihak yang diberi kewenangan menguji tidak paham standar dan kurikulum pendidikannya. Lebih aneh lagi, bila ada pihak yang dimintakan untuk mengeluarkan surat keterangan lulus atau kompeten, padahal bukan mereka yang menguji.

Dari ketiga tungku pendidikan di atas, rasanya cukup jelas bahwa pihak pemerintah lah yang memiliki peran besar yang sangat strategis. Pemerintah yang dimaksud ialah Kemendikbud atau Mendikbud. Keterlibatan peran Kemendikbud atau Mendikbud di sini tentu saja bukan dalam bentuk yang sangat teknis. Penulis sangat yakin Kemendikbud dan Mendikbud sangat memahami filosofi kepemimpinan tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara. “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani,” yang artinya, di depan menjadi teladan, di tengah memberi bimbingan, dan di belakang memberi dorongan.

Lalu, di mana letak peran Kemenkes dan Menkes? Peran besar Kemenkes dan Menkes bukan di sini. Ada di “Tungku Tigo Sajarangan” lain, yang terkait dengan pelayanan kesehatan. “Tungku Tigo Sajarangan” di bidang pelayanan, meliputi: Pertama, organisasi profesi yang menyusun standar pelayanan, yang kemudian diberikan kepada Menkes untuk mengesahkannya.

Setelah Menkes mengesahkan barulah legal untuk diterapkan dalam pelayanan pasien. Coba bayangkan, apa jadinya bila ada satu saja standar pelayanan yang belum disahkan oleh Menkes? Di sini peran penting dan strategis seorang Menkes.

Tungku kedua, anggota profesi dan tenaga kesehatan, yang memberi pelayanan langsung kepada masyarakat sesuai standar yang telah disahkan oleh Menkes. Tungku ketiga, fasyankes (FKTP dan FKTRL), apotek, laboratorium, dan lain-lain. Regulasi, standar, klasifikasi, akreditasi dari fasyankes ini semua menjadi urusan Kemenkes dan Menkes.

Dari dua “Tungku Tigo Sajarangan” di atas, sangatlah jelas betapa besar dan pentingnya tugas dan peran pemerintah. Karena itu, bila masih ada orang yang mengatakan pemerintah tidak diberi tugas dan peran. Mungkin orang itu kurang baca atau malas membaca. Malas membaca Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Mungkin juga malas mencari tahu kalau tugas Kemenkes itu banyak sekali. Mulai dari mendistiribuskan tenaga kesehatan secara merata, memeratakan fasyankes, menyediakan obat dan alat kesehatan serta mendistribusikannya, menyediakan gaji/honor bagi tenaga kesehatan, menyiapkan rumah dinas yang layak, menyediakan alat transportasi untuk menjangkau tempat domisili penduduk atau kegawat-daruratan. Menyediakan jaminan sosial sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasiona, (SJSN): Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua. Dan seterusnya.

Selain itu, di sektor upaya kesehatan masyarakat (UKM) pun masih banyak “PR” Kemenkes dan Menkes yang mesti dituntaskan. Mau menyelesaikan sendiri “PR” itu tanpa melibatkan profesi dokter dan tenaga kesehatan lain, terserah saja. Tidak ada masalah.

Catatan Akhir

Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, penulis ingin memberi tujuh poin, sebagai berikut:

Pertama, tidak benar bila kolegium diibaratkan sebuah negara dalam negara. Atau memiliki kekuasaan layaknya negara. Sebab, berdasarkan hakikat, tujuan, dan unsur-unsur pembentuk negara, sepertinya syarat tersebut tidak terpenuhi. Karena itu, kolegium tetaplah kolegium dengan tugas utama mengampu dan mengembangkan disiplin ilmu.

Kedua, keterlibatan kolegium dalam pendidikan dokter dan dokter spesialis juga terbatas. Sebab, tugas untuk menyusun standar dan kurukulum tidak dilakukan sendirian. Melainkan bersama-sama dengan institusi pendidikan kedokteran.

Ketiga, mengenai keterlibatan anggota kolegium secara langsung mendidik dokter dan dokter spesialis, itu karena mereka adalah dosen dan guru besar di bidang ilmu tersebut. Bahwa terakhir ini terkesan atau dikesankan memiliki kewenangan sangat besar, itu karena sengaja dibesar-besarkan, diframning negatif untuk maksud menjatuhkan .

Keempat, tidak benar bila pemerintah tidak diberi tuga dan peran dalam pendidikan dokter dan dokter spesialis. Setahu penulis tidak ada juga otoritas kolegium untuk membagi-bagi tugas dan peran tersebut. Terkait dengan pendidikan dokter dan dokter spesialis, justru Kemendikbud dan Mendikdub-lah yang memiliki kewenangan besar membuat kebijakan strategis terkait pendidikan, termasuk pendidikan dokter.

Kelima, bahwa mengharap Kemendikbud dan Mendikbud terlibat langsung, turun ke kampus dan rumah sakit pendidikan untuk mendidik dokter dan dokter spesialis, tentu juga kurang pas. Lagi pula pejabat dan pegawai di kantor Kemendikbud hampir tidak ada yang berprofesi dokter.

Keenam, terkait pelayanan kesehatan. Juga tidak benar bila dikatakan Kemenkes dan Menkes tidak diberi tugas dan peran dalam pelayanan kesehatan. Justru kewenangan dan tugas besar dan strategis itu ada di tangan Kemenkes dan Menkes (lihat Pasal 34 ayat (3) UUD 1945). Di tangan Kemenkes dan Menkes-lah semua regulasi pelayanan kesehatan juga disusun dan dibuat.

Ketujuh, bahwa mengharap para pejabat Kemenkes terlibat langsung, secara teknis memberi pelayanan kesehatan tentu juga kurang bijak. Sebab, bukankah pekerjaanya sebagai pejabat masih sangat banyak. Apalagi mengharap Menkes BGS, yang bukan seorang dokter untuk memberi pelayanan medis, tebih tidak bijak lagi.

Karena itu, yang terbaik adalah berbagi tugas secara proporsional dan profesional dengan pemangku seluruh kepentingan. Untuk urusan yang secara teknis sudah dapat dituntaskan oleh pemangku kepentingan lain secara mandiri, maka sebaiknya pemerintah tidak perlu intervensi dan ikut cawe-cawe. Ambil teladan kepemimpinan Ki Hadajr Dewantara. Wallahu a’lam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here