Catatan Fiam Mustamin
Perjalanan dari Palu menuju Makassar melewati daerah-daerah seperti Donggala, Pasangkayu, Mamuju, Majene, Polewali, Parepare, Mangkoso, hingga Tanete, menyuguhkan jejak-jejak peradaban masa lampau yang kaya makna.
Palu: Jejak Dakwah Datuk Minangkabau
Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, merupakan salah satu pusat awal penyebaran Islam oleh para Datuk dari Minangkabau. Tiga Datuk yang dikenal luas adalah Datuk Ri Bandang di Makassar, Datuk Patimang di Luwu, dan Datuk Ditiro di Bulukumba. Namun, di Palu dikenal pula seorang tokoh penyiar Islam yang terlupakan dalam sejarah, yakni Datuk Karamah. Sudah waktunya dilakukan penelusuran sejarah terhadap beliau bersama para keturunannya.
Donggala: Bandar Niaga dan Sentra Budaya
Donggala kini menjadi sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah, namun pada masa pra-kemerdekaan dikenal sebagai salah satu bandar niaga yang ramai dikunjungi di kawasan timur Indonesia. Wilayahnya mencakup pegunungan dan pesisir pantai yang panjang. Di dataran tinggi tumbuh subur cengkeh dan cokelat, sementara kawasan antara Palu dan Donggala dikenal sebagai tambang batu coral sepanjang 25 km, yang diolah menjadi kerikil untuk bahan bangunan, terutama dikirim ke Kalimantan Timur.
Sarung Tenun Donggala
Kain tenun Donggala menjadi ikon kebanggaan lokal. Setiap pengunjung Palu umumnya mencari sarung ini dan bawang goreng khas sebagai oleh-oleh.
Pasangkayu: Lautan Kelapa Sawit
Menyusuri jalanan Pasangkayu selama dua jam dengan kecepatan 80 km/jam melalui hamparan hutan kelapa sawit menunjukkan betapa luasnya perkebunan di Sulawesi Barat. Perlu dipertanyakan sejauh mana hasil dari komoditas ini berkontribusi terhadap pembangunan daerah setempat.
Mamuju, Majene, dan Polewali: Negeri Mandar
Ketiga daerah ini merupakan wilayah etnis Mandar yang dikenal tangguh dan berprinsip kuat dalam menjalani hidup. Mereka menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kepedulian sosial, sebagaimana dalam pepatah: Si rondo rondoi nasiwali parri. Di sini juga terdapat makam waliullah Imam Laoeo, tokoh yang mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal. Makamnya berada di samping masjid besar di pinggir jalan utama.
Mangkoso dan Tanete: Tapak Kecendekiaan Bugis
Tanete dikenal sebagai tempat We Colli Pujie, Arung Panca Tua Tanete, menulis dan menafsirkan Sureq I Lagaligo, sebuah warisan klasik sastra Bugis. Ini menjadi bukti bahwa tradisi kecendekiaan dan kearifan Bugis telah mengakar sejak dahulu kala, yang tercermin dalam prinsip kepemimpinan Eppa Sulapa—empat unsur dasar kehidupan: Macca namalempu (cerdas dan jujur), Warani namagetteng (berani dan tegas), Malabo (pemurah dan suka berbagi).
Warisan klasik ini seyogianya dijadikan referensi dalam praktik kepemimpinan masa kini.
Refleksi
Ziarah ke Kompleks Makam Sultan Hasanuddin di Gowa pada 11 Mei 2025 menjadi titik perenungan akan pentingnya merawat nilai-nilai warisan leluhur dalam menghadapi tantangan zaman.