Kebijakan Demokrasi Ekonomi untuk Kesejahteraan yang Lebih Adil

0
101
- Advertisement -

Kolom Amsal Bakhtiar

Akhir-akhir ini kita melihat negara sedang menghadapi persoalan besar. Baik yang menyangkut persoalan ekonomi maupun persoalan yang bersifat politik, hukum dan lainnya. Persoalan ekonomi yang merupakan persoalan besar seperti masalah kemiskinan, pengangguran, korupsi dan lainnya. Persoalan yang menggelayuti pemerintah tersebut tentu sangat mengganggu konsentrasi dan fokus pemerintah dalam usaha membangun ekonomi untuk menyejahterakan rakyat.

Negara dan Prioritas Membantu Rakyat yang Menderita

Negara atau pemerintah dalam makna kehadirannya mempunyai suatu tujuan dan kewajiban yang mulia, yaitu untuk menyejahterakan rakyat. Tujuan negara adalah untuk melayani manusia. Negara mempunyai kewajiban terhadap orang yang hidup di wilayahnya atau menjadi warganegaranya. Meskipun kewajiban negara tidak sama buat semua orang, namun negara harus memperhatikan semua lapisan masyarakat( Analisa, l983 No.3 Maret 1983 hal.185). Terlebih lagi dalam sebuah negara adanya kelompok masyarakat yang hidup dalam keadaan yang sulit harus segera dibantu dan dilindungi oleh negara, sebut saja mereka yang tidak punya pekerjaan atau menganggur, mereka yang hidup miskin, mereka yang teraniaya atau terzalimi, mereka yang tidak mendapat perlakuan yang tidak adil dan sebagainya.

Negara dalam sebuah pemerintahan yang demokratis yang pejabatnya dipilih rakyat (presiden, gubernur, bupati, wali kota atau eksekutif, maupun legislatif seperti anggota DPR,DPRD,DPD, dan yudikatif atau para penegak hukum) selayaknya dituntut terlebih dulu mengutamakan kebutuhan rakyat yang telah memilih mereka. Anggaran untuk memberdayakan rakyat yang ditekankan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka harus lebih diprioritaskan ketimbang pejabat dan eksekutif pemerintahan.

Dalam hal ini kebijakan yang dijalankan pemerintah haruslah menekankan pada manajemen organisasi kerja profesional yang tujuannya semua untuk bekerjanya roda pemerintahan yang baik. Yaitu mampu meningkatkan produktivitas perekonomian, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lainnya.

Intinya dalam hal ini pemerintah menempatkan para pejabat yang mampu bekerja secara produktif, memiliki tanggung jawab dan berintegritas, serta punya perasaan kebangsaan yang tinggi. Kebijakan ini bisa disebut sebagai kebijakan publik yang tujuannya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, suatu kebijakan tidak bisa disebutkan sebagai kebijakan publik kalau dasar pengangkatan seseorang pejabat karena pertimbangan bahwa ia kerabat, saudara dan semacamnya. Suatu kebijakan bisa disebut sebagai kebijakan publik karena pertimbangan keahlian dan kemampuan ( Jurnal Ilmu Politik 3 , PT Gramedia, Jakarta, l988 hal. 5).

Rekrutmen pejabat harus dihindari dengan pertimbangan karena kerabat, karena satu koalisi, karena ia relawan, pertimbangan balas jasa dan semacamnya. Karena kalau pertimbangan ini yang dilakukan dan bukan karena profesionalisme dan keahlian, bisa memberikan kesan negatif pada pemerintah dan penguasa yang dianggap sebagai bukan dengan tujuan untuk menyejahterakan bangsa dan kemajuan negara, tapi dilihat sebagai pertimbangan yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok. Kebijakan yang seperti ini bersifat potensial mengundang kritik publik, tentu tidak baik dari aspek menumbuhkan trust atau kepercayaan buat pemerintah dan negara.

Dalam hal kebijakan publik ini dan dalam rangka juga menggunakan anggaran negara secara efektif, penggunaannya sebaiknya diutamakan untuk membantu kehidupan rakyat yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, anggaran diprioritaskan buat kalangan tidak mampu. Misalnya, wakil menteri yang diangkat jadi komisaris dengan rangkap jabatan kemudian gaji per-bulan yang sangat besar hingga mencapai ratusan juta, tentu sangat membantu jika gaji tersebut dialokasikan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat yang tidak mampu. Seorang wakil menteri sebenarnya mereka sudah hidup secara berkecukupan dan malah mungkin melebihi dari kebutuhannya, sebab dari informasi LHKPN ((laporan harta kekayaan pejabat negara) yang dipublish umumnya para Wamen memiliki kekayaan atau aset yang luar biasa besar. Kekayaannya mencapai puluhan miliar dan bahkan ada yang ratusan miliar. Di samping itu jabatannya sebagai wakil menteri juga sudah dijamin gaji dan tunjangan yang cukup, sementara sekarang ini rakyat sangat sulit mencari kerja dan hidup dalam tekanan ekonomi karena kemiskinan yang dideritanya.

Penekanan Demokrasi Ekonomi
Kebijakan pemerintah ke depan diharapkan lebih mengarah pada demokrasi ekonomi. Tidak melulu hanya memperhatikan demokrasi di bidang politik, yang sejak adanya reformasi telah banyak mengalami perubahan dengan berlakunya pemilihan langsung dalam pemilu dan pembatasan masa jabatan presiden. Sementara demokrasi di bidang ekonomi dan sosial kurang dibarengi perhatiannya. Padahal demokrasi ekonomi dan sosial tidak kalah pentingnya selain demokrasi politik.

Dalam demokrasi ekonomi dan sosial diharapkan terjadinya perbaikan ekonomi untuk kalangan masyarakat yang tidak mampu dan masyarakat miskin. Dalam demokrasi ekonomi hak untuk sandang, pangan, papan, dan pendidikan, dan pekerjaan sangat penting, mendasar dan fundamental untuk dipenuhi.

Dalam demokrasi ekonomi juga ditekankan adanya pemerataan, mengurangi kesenjangan sosial dan ketimpangan pendapatan antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Masalah ini tampaknya telah disadari pemerintah yang belakangan ini mulai menunjuk adanya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Yakni bagaimana mewujudkan distribusi kekayaan agar lebih merata pada rakyat. Tidak hanya dinikmati sebagian kecil orang yang memegang kunci-kunci strategis kehidupan ekonomi nasional. Gejala ketimpangan pemilikan aset ekonomi ini misalnya sudah diungkapkan Menteri Agraria dan Tata Ruang dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang mengungkapkan sebanyak 1,8 juta hektar tanah di Indonesia hanya dikuasai oleh satu keluarga. Kemudian dari total 170 juta hektar tanah kita, seluas 70 juta hektar yang merupakan kawasan non-hutan, sebanyak 46% atau 30 juta hektar hanya dikuasai oleh 60 keluarga besar pemilik korporasi atau perusahaan (Kompas.com 5/5/2025).

Kondisi ini menunjukkan pentingnya orientasi kebijakan pemerintah yang berorientasi pada demokrasi ekonomi, serta seruan dari kaum intelektual, aktivis HAM, pegiat LSM, pejuang civil society untuk menekankan pentingnya membangun opini memperjuangkan hak demokrasi ekonomi dan sosial, dan tidak terfokus hanya pada demokrasi politik, kebebasan berbicara dan berpendapat.
Jika demokrasi ekonomi dan sosial berjalan dengan baik dilakukan oleh pemerintah, rakyat akan merasakan adanya keadilan. Sebab, mereka diberikan peluang untuk bangkit melalui economic emprowerment untuk meraih kesejahteraan hidup. Demokrasi ekonomi juga diharapkan mampu membangkitkan spirit dan optimisme mereka untuk bangkit, dan menghapus sikap apatisme dan fatalisme. Karena itu masyarakat bawah harus didorong untuk bangkit dan maju serta percaya diri. Tentu di antaranya dengan membuka peluang dan pintu-pintu pemberdayaan antara lain misalnya memberikan kredit yang mudah bagi para pengusaha kecil dan bantuan bagi masyarakat yang tidak mampu dan miskin. Dengan langkah ini diharapkan masyarakat bawah dan masyarakat kecil diharapkan bisa menjadi jalan pemberdayaan ekonomi dan sosial mereka. Peluang yang diberikan kepada kalangan masyarakat akar rumput ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah ketimbang menyejahterakan kalangan elit baik politisi, profesional, relawan dan pejabat yang hidupnya sudah sejahtera dan bahagia, hanya karena pertimbangan berasal dari koalisi, sesama politisi partai, dan bagi-bagi jabatan karena balas jasa. Allahu’alam bissawab.

Prof.Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Dosen dan PLt. Wakil Rektor dan Bidang Perencanaan Keuangan dan Pengembangan Usaha Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok, Jawa Barat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here