Genosida dan Kuburan Indonesia Bernama Raja Ampat

0
881
- Advertisement -

Kolom Alif we Onggang

Tahun 2024, hadiah Nobel Ekonomi jatuh kepada sekelompok peneliti yang mengungkap satu kenyataan pedih: bahwa institusi (industri) ekstraktif yang dikuasai segelintir elite dan oligarki bukan hanya gagal menyejahterakan rakyat, tetapi juga menjadi ladang subur bagi korupsi, ketimpangan, konflik, dan kehancuran lingkungan. Temuan ini seperti kaca benggala yang memantulkan wajah Indonesia secara telanjang. Ia bukan sekadar cermin buram, tapi kuburan massal dan tindakan bunuh diri.

Raja Ampat, yang pernah dielu-elukan dunia sebagai surga biodiversitas laut dan situs geopark kelas dunia, kini bersiap menjadi babak baru dalam daftar panjang pengorbanan alam demi keserakahan manusia. Setelah Freeport menyetubuhi Gunung Ertsberg, juga Rempang, Wawonii, Halmahera, dan Bangka jadi bumi yang terkoyak, kini Raja Ampat pun terancam masuk liang yang sama. Apa yang kita saksikan bukan sekadar proyek industri, tapi prosesi pemakaman satu demi satu gugusan harapan.

Indonesia adalah contoh buruk dari apa yang oleh para ekonom disebut sebagai “kutukan sumber daya alam” (resource curse). Kekayaan yang semestinya jadi berkah, berubah menjadi racun yang mempercepat kehancuran. Alih-alih menjadi motor kemajuan, sumber daya ini menjadi alat kekuasaan, menimbulkan konflik sosial, pencemaran lingkungan, dan penggusuran masyarakat adat yang telah menjaga tanah dan laut selama ratusan tahun sebelum NKRI ada!

Fakta-faktanya menyakitkan. Setidaknya 51 orang — mayoritas anak-anak — tewas di kolam bekas tambang yang dibiarkan menganga seperti luka tak tersembuhkan di Kalimantan Timur; lubang-lubang tambang tak hanya mencabik bumi tapi juga mencabut nyawa. Dan di tempat lain, proyek food estate terus dipaksakan meski gagal dari era Orde Baru hingga rezim Jokowi kembali diulangi sekarang. Jutaan lahan diokupasi tanpa suara masyarakat lokal didengar. Cerita pilunya melampaui capaian yang diumbar.

Masyarakat adat, yang hidup dalam kearifan ekologis dan spiritualitas bumi, kehilangan lebih dari sekadar lahan. Mereka kehilangan identitas. Seperti marginalisasi Suku Balik di kawasan IKN. Hutan yang mereka rawat seperti anak, dan muliakan seperti ibu, kini dirampas atas nama pembangunan dan hilirisasi. Ironisnya, ketika mereka menuntut hak, mereka dicap sebagai pengganggu investasi, bahkan dituduh antek asing segala. Ini tragedi berulang dari pengabaian sistemik terhadap hak-hak dasar manusia.

Hilirisasi, yang menjadi mantra sakti para penguasa, pada praktiknya hanya perpanjangan dari eksploitasi. Ia bukan solusi, melainkan cara baru untuk menjustifikasi pengerukan yang lebih dalam. Kata ‘hilirisasi’ sering kali berarti: “kami akan menambang lebih brutal, kami akan membakar lebih luas, dan kepada rakyat cukup kami beri sembako.” Logika ini dilandasi oleh asumsi keliru, seakan-akan rendahnya IQ atau tingkat pendidikan masyarakat bisa dijadikan pembenaran untuk memiskinkan mereka secara sistematis. Orang-orang kota yang sok tau dan berakal bulus ini merangsek lingkungan dengan senjata.

Lebih ironis lagi, menurut data Bappenas yang nota bene lembaga resmi pemerintah — menyebutkan di daerah-daerah yang menjadi pusat hilirisasi, angka kemiskinan justru tinggi. Yang kaya hanya segelintir pemilik modal dan elite penguasa. Sementara rakyat di lingkar tambang hidup dengan air tercemar, udara beracun, dan tanah yang tak lagi menumbuhkan penghidupan.

Forest Watch Indonesia mencatat, izin industri ekstraktif kini telah menjangkau lebih dari 100 juta hektar darat dan laut Indonesia — luas yang setara gabungan wilayah Inggris dan Jerman. Ini bukan pembangunan, ini pendudukan. Dan lebih dari itu: ini adalah penyiapan kuburan massal bagi masa depan bangsa.

Belum pernah ada negara maju yang bertumpu pada hasil SDA. Semua kekuatan global — dari Jepang hingga Jerman, dari Korea hingga Swedia — membangun diri dengan sains, inovasi, dan investasi pada manusia. Tapi Indonesia justru menelantarkan ilmu pengetahuan dan mencaci akal sehat, sambil terus memperkosa karunia Tuhan berupa hutan, laut, dan tanah yang semestinya dijaga.

Betapa kurang ajarnya, ketika kita menggali kekayaan dengan tangan, dan menggali kuburan kita sendiri dengan cara yang sama.

Alif we Onggang adalah esais dan penulis buku BARANI, Hidup dengan Martabat Mati dalam Gairah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here