Kolom Amsal Bakhtiar
Seorang presiden yang baru menjabat bisa dipastikan akan menghadapi beberapa masalah. Problem yang dihadapi bukan hanya soal pembangunan, namun juga terkait dengan relasi-relasi personal atau hubungan-hubungan dengan para petinggi sebelumnya yang pernah berkuasa.
Secara teoritis mungkin bisa dikatakan pergantian kekuasaan bisa menyisakan sebuah kenangan (memori), bahwa ada sesuatu yang terlepas dari milik yang berharga diserahkan kepada orang lain.
Jika penyerahan kekuasaan dilakukan dengan ikhlas dan kesukarelaan tentu tidak ada masalah, namun jika kekuasaan itu dilepas dengan rasa keterpaksaan dan belum ada perasaan legowo jelas dikhawatirkan muncul perilaku-perilaku yang bisa merongrong kepemimpinan yang baru.
Dalam negara demokrasi kekuasaan tertinggi dalam politik seperti jabatan presiden telah dibatasi periodenya hanya untuk dua kali jabatan saja. Untuk Indonesia dua periode itu yaitu selama 10 tahun. Pembatasan jabatan ini sejatinya harus diterima dengan ikhlas dan merelakan adanya pergantian atau pergiliran kekuasaan (sirkulasi elite).
Tetapi dalam kenyataan politik meskipun kekuasaan telah berganti, namun masih ada harapan-harapan yang dibebankan kepada pemerintahan baru, misalnya, melanjutkan program pembangunan pemerintahan lama yang belum tuntas atau belum selesai. Hal ini sebagai usulan atau harapan tentu sah-sah saja, namun yang tidak boleh adalah permintaan secara paksa bahwa harus dijalankan. Sebab, pemerintahan baru harus mempertimbangkan kemanfaatannya buat rakyat, di samping itu pemerintahan baru juga punya konsep atau rencana pembangunan tersendiri yang ia yakini juga lebih penting untuk diwujudkan.
Pertanyaan yang mengusik adalah faktor-faktor apakah yang menyebabkan figur pemimpin lama atau presiden lama masih punya kepentingan pada pemerintahan baru?
Selain yang disebut di atas yaitu adanya keinginan pemerintahan lama untuk melanjutkan program pembangunannya yang belum tuntas, juga ada yang terkait dengan kesinambungan jabatan. Para menteri atau pembantu presiden pada pemerintahan sebelumnya yang punya keinginan untuk bergabung dengan pemerintahan baru bisa diyakini akan minta bantuan pada presiden yang lama untuk diajak bergabung dengan pemerintahan baru. Di sini presiden lama atau kepala pemerintahan lama dinilai memiliki power atau pengaruh pada pemerintahan baru sehingga bisa diharapkan untuk menggolkannya dalam kabinet atau jabatan lainnya.
Masuknya orang-orang pemerintahan lama dalam kabinet pemerintahan baru bisa diterima dengan berbagai pertimbangan. Pertama, mungkin dinilai karena faktor keahlian dan kompetensi yang dimilikinya. Ini tentu sah-sah saja dan cukup rasional. Namun, kalau pertimbangannya karena ada interes politik dan kepentingan yang bersifat pribadi atau karena ada balas jasa dan hutang budi, tentu ini suatu kebijakan yang tidak tepat.
Kedua, mungkin juga di sini ada titipan untuk memperjuangkan suatu jabatan. Dengan adanya orang-orang yang sengaja didudukkan dalam jabatan pemerintahan baru diharapkan bisa membantu, memperjuangkan, menjaga dan mengamankan posisi tokoh yang sedang menjabat atau memperjuangkan jabatan yang diharapkan. Tentu usaha ini dinilai tidak tepat juga karena kepemimpinan baru memiliki beban yang cukup berat ditambah dengan titipan yang belum tentu mendukung sepenuhnya program pemerintah baru. Atas dasar itu, perlu setiap saat melakukan evaluasi atas kinerja para pembantu presiden agar terwujud emerintah yang solid dan professional.
Ketiga, muculnya fenomena politik dinasti di Indonesia memungkinkan relasi yang bersifat politis antara pemimpin pemerintahan lama dengan pemerintahan baru untuk terus terjalin dan untuk memelihara saling kepentingan, dan terutama menjaga agar jabatan dan kekuasaan yang dipegang para stok lama bisa berjalan dengan aman dan lancar. Politik dinasti tentu akan merusak sistem demokrasi yang sudah lama diperjuangkan, terutama pada era reformasi. Sebab, politik dinasti tidak berdasarkan pada meritokrasi, tetapi pada keturunan darah, baik darah biologis maupun “darah jasa” pemimpin yang lama.
Bersifat Temporal
Tentu bukan sesuatu yang mudah memelihara hubungan yang nyaman dan aman antara penguasa baru dan penguasa lama yang ingin tetap berkiprah dalam kekuasaan. Menjalankan sebuah pemerintahan sesungguhnya penuh dinamika, baik tantangan maupun permasalahan baru yang muncul. Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah tulisannya mengatakan, ada banyak persoalan yang dihadapi Indonesia antara lain soal keadilan, soal kepastian hukum, perekonomian, hubungan luar negeri, kesenjangan ekonomi, persatuan bangsa, bencana alam, masalah keamanan, dan lainnya ( Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, Prodeleader, Jakarta, l986 hal. 184-185).
Masalah yang dihadapi bangsa yang di bawah kendali pemerintahan baru memerlukan pemecahan yang baik dengan pemerintahan yang kompak, seiring sejalan, visi yang sama, dan terutama adalah mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Namun, di dalam politik suatu perbedaan bisa saja terjadi yang terkadang menimbulkan dugaan adanya perbedaan. Bagaimanapun juga dalam sebuah pemerintahan yang dipilih berdasarkan pemilihan umum otoritas tunggal pemimpin adalah presiden yang mendapatkan suara terbanyak dan dilantik oleh MPR.
Karena itu jika muncul istilah “ Dua Matahari kembar” yang mengkonstatir adanya dua pemimpin atau menduga adanya pemimpin bayangan di luar pemimpin resmi, sebenarnya menunjuk adanya figur yang diduga ikut mempengaruhi pemerintahan baru dalam menjalankan pemerintahan.
Saya melihat dalam hal di Indonesia sekarang ini adanya istilah “matahari kembar” dalam kepemimpinan merupakan suatu predikat yang bersifat temporal atau sementara. Dan, istilah ini secara lambat laun akan hilang sendirinya dengan kebijakan-kebijakan baru yang dijalankan pemerintah. Alasannya, cukup sederhana saja, bahwa pemerintahan baru ingin mendapat dukungan dari rakyat. Hal ini selain terkait dengan janji-janji kampanye yang telah disampaikan, juga pemerintahan baru ingin citranya baik di mata masyarakat dan rakyat, sehingga program pemerintahan yang dijalankan pastilah yang disukai dan yang mendapat apresiasi dari rakyat. Apalagi, kalau diingat pula bahwa pemerintah yang sedang berjalan ingin maju pula pada periode pemerintahan berikutnya, maka citra positif dan trust dari rakyat harus dijaga.
Adapun yang menyangkut relasi dengan figur- figur relasi pemerintahan lama hanya akan diperhitungkan sejauh sesuai dengan aspirasi rakyat, kalau hanya pertimbangan kepentingan pribadi dan kelompok rasanya tidak akan diperhatikan secara serius. Di samping itu, gaya kepemimpinan yang lama dengan yang baru tentu berbeda. Salah satu contoh yang jelas adalah kepemimpinan yang lebih lama lebih kalem dan tidak begitu reaksioner, tetapi kepemimpinan yang baru lebih tegas dan reaksioner terhadap beberapa kritik yang muncul. Apalagi sudah muncul suara dari berbagai pihak, terutama dari partai Gerindra untuk mempersiapkan Presiden sekarang lanjut bertarung di tahun 2029. Kalau ini yang diinginkan, tentu pemerintah sekarang akan fokus pada program-program strategis yang akan mengangkat citranya di mata rakyat. Pada waktunya dia tidak perlu lagi berkampanye terlalu berat karena bukti kinerja sudah jelas dan dirasakan oleh rakyat.
Harapan kita sebagai bangsa Indonesia adalah munculnya kepemimpinan matahari tunggal, yang diharapkan memancarkan sinarnya menyejahterakan rakyat dan meningkatkan kemajuan bangsa Indonesia.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Dosen dan PLt.Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Pengembangan Usaha Universitas Islam Internasional Indonesia ((UIII), Depok, Jawa Barat