Cerpen Aslamuddin Lasawedy
Namanya Endah. Ia duduk sendiri di sudut kafe yang tak pernah ramai. Menghadap jendela yang memantulkan lebih banyak kenangan daripada cahaya. Tak ada yang tahu terlalu banyak tentangnya. Selain, bahwa ia selalu memesan kopi yang sama. Hitam, tanpa gula. Seperti malam yang ia peluk tiap kali pulang.
Sore itu, seorang pria, duduk tak jauh darinya. Ia membawa novel yang sama dengan yang pernah dibaca Endah di bangku kuliah, Manusia dan Peristiwa. Mereka bertukar pandang. Lalu diam. Seperti dua batu di dasar sungai. Saling tahu keberadaan masing-masing.
Namun, terlalu berat untuk bergerak.
“Kenapa kau selalu sendiri?” tanya pria itu akhirnya.
Endah menatapnya, bukan dengan mata, tapi dengan beban derita yang ia pikul. “Karena ramai tak selalu berarti ditemani.”
Ia mengaduk kopi hitamnya yang sudah lama dingin. Seolah masih berharap sesuatu bisa larut di dalamnya.
Pria itu tertawa kecil. “Kau seperti baris puisi yang terlalu gelap untuk dibacakan keras-keras.”
“Dan kau seperti orang yang ingin memahami dan langsung menyimpulkan tanpa membaca seluruh buku.”
Hening lagi.
“Aku hanya ingin tahu,” katanya, lebih pelan. “Apa yang membuat seseorang memilih diam di tengah dunia yang tak pernah berhenti bicara?”
Endah menoleh ke arah cermin jendela. Di sana, ia melihat bayangan dirinya di masa lalu. Tersenyum utuh. Percaya bahwa semua luka akan sembuh seperti demam yang mereda setelah tidur yang panjang. Namun hidup tak seperti suhu tubuh. Terkadang ada luka yang sembuh, agar bisa sakit lagi saat disentuh.
“Ada hal-hal,” katanya perlahan, “yang tak bisa dijelaskan kepada mereka yang belum pernah mengalaminya. Dan ada rasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah ditinggal saat butuh digenggam. Yang pernah menjerit tanpa suara di tengah keramaian.”
Pria itu mengangguk, tapi matanya kosong. Ia tetap saja belum mengerti.
Endah tahu, lalu tersenyum. “Suatu hari kau akan memahaminya. Tatkala kau memegang gelas retak dan tak tahu kapan ia akan pecah. Atau saat engkau melihat seseorang menutup pintu tanpa menjelaskan alasannya. Saat itu, kau akan tahu, mengapa beberapa dari kita, pada momen tertentu, memilih untuk diam. Sebab berkata-kata terkadang hanya semakin menyakiti sesuatu yang sudah cukup terluka.”
Kopi kembali diaduk, meski tak ada yang larut.
Dan …Sore itu, waktu tetap berputar seperti biasa. Tapi satu orang pulang dengan hati yang sedikit lebih berat. Bukan karena ia terluka, tapi karena ia mulai sadar, bahwa memahami bukan tentang mendengar, tapi tentang menjalani dan mengalami. Weleh, weleh, weleh.
Cerpenis, Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik.