Shock Teraphy dalam Mengatasi Meningkatnya Korupsi

0
83
- Advertisement -

Kolom Amsal Bakhtiar

Pemerintahan reformasi di Indonesia sudah berusia hampir 3 dekade (27 tahun). Salah satu yang diperjuangkan waktu itu adalah pembaruan di bidang politik, penegakan hukum dan HAM, serta pemberantasan korupsi atau KKN. Dua yang pertama meski telah berjalan, namun masih bersifat debatable, mungkin ada yang melihat ada kemajuan, namun mungkin juga ada yang berpendapat masih banyak kekurangan.

Terkait soal pemberantasan korupsi bisa dikatakan banyak yang berpendapat tidak mengalami kemajuan yang berarti, justru penilaian korupsi makin meningkat baik dilihat dari segi jumlah pelakunya, jenis kasusnya maupun tingkat besaran dan jumlah nilai korupsinya.

Media sosial dan berita-berita korupsi akhir-akhir ini justru mengesankan betapa korupsi seolah-olah makin tidak terkendali dan sulit diatasi. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya nitizen yang membuat kasus besaran korupsi dengan menyusun ranking seperti dalam olah raga sepakbola, yaitu klasemen liga korupsi dan menyusun siapa yang teratas dan menduduki puncak dalam perilaku korupsi.

Mengutip klasemen posisi liga korupsi versi nitizen tersebut susunannya sebagai berikut:
* PT Timah TBK Rp 300 triliun (kasus tata niaga timah, melibatkan Harvey Moeis).
* PT Pertamina Patra Niaga Rp 193,7 triliun (skandal oplosan Pertamax).
* Bank Indonesia Rp 138 triliun (kasus BLBI).
* PT Duta Palma Rp 78 triliun (kasus penyerobotan lahan)
* TPPI (Trans Pacific Petrochemical Indotama) Rp 37,8 triliun (kasus penjualan kondensat ilegal).
* ASABRI Rp 23 triliun (kasus korupsi dana pensiun TNI-Polri).
* PT Jiwasraya Rp16,8 triliun (kasus korupsi asuransi).
*PT Musim Mas Rp 12 triliun (kasus penggelapan pajak industri sawit).
*Garuda Indonesia Rp 8,1 triliun (kasus pengadaan pesawat dan korupsi leasing ).
* Kominfo Rp 8 triliun ( kasus korupsi proyek BTS 4G).

Kejaksaan Agung juga belakangan ini sedang mengusut dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook di Kemendikbudristek era Mendikbud Nadiem Makarim senilai Rp9,9 triliun.
Korupsi secara bahasa mengandung arti yang sangat negatif, artinya bisa menunjukkan perilaku busuk, perbuatan bejat, sikap tidak jujur, tidak bermoral, bisa disuap, disogok dan lainnya. Namun, anehnya betapa pun pengertian korupsi suatu perbuatan yang dinilai rendah dan hina, mengapa tetap orang mau melakukannya, bahkan tidak jarang yang melakukan korupsi orang yang terpelajar, kalangan mampu dan semacamnya.
Perbuatan korupsi ternyata tidak membuat orang jera untuk tidak melakukannya, termasuk juga tidak merasa bahwa perbuatan buruk tersebut akan merusak citra keluarganya dan membuat malu anak dan istrinya.

Bisa dikatakan bahwa kemungkinan uang hasil korupsi itu yang bisa dinikmati hidup mewah dengan keberlimpahan harta sehingga dengan segala kenyamanan tersebut pelakunya sudah lupa bahwa perbuatan korupsi sebagai perbuatan rendah, nista dan tidak terhormat.

Tampaknya era post truth bahwa kebohongan dianggap suatu kebenaran bukan hanya terjadi dalam dunia informasi, tetapi juga kemungkinan memasuki dunia korupsi. Bisa jadi bahwa perbuatan korupsi yang mampu membuat seseorang menikmati hidup mewah, mampu memenuhi fasilitas hidup yang bergengsi dan membeli barang mahal dan bermerek, baik kendaraan, rumah mewah, aset berharga dan lainnya, korupsi atau koruptor sudah bergeser maknanya sehingga pelakunya tidak lagi dianggap hina dan rendah. Meski, misalnya, pelakunya pernah diganjar masuk penjara, tapi setelah keluar –pasca dapat remisi dan potongan hukuman lainnya—setelah keluar mungkin dianggap berjasa oleh keluarganya karena mampu meningkatkan kesejahteraan dan prestise hidup mereka.
Latar belakang penyebab di atas bisa dikatakan kenapa perbuatan korupsi menjadi amat sukar diberantas. Sanksi hukum tidak mampu membuat jera para koruptor. Hukuman maksimal seumur hidup atau hukuman mati, tidak diberlakukan, bahkan ada potongan-potongan (remisi) yang menyebabkan seorang koruptor bisa bebas tidak menjalani hukuman sesuai vonis yang dijatuhkan pengadilan. Kalaupun uang hasil korupsi disita, mungkin sebagian sudah diselamatkan, sehingga ketika bebas dari penjara masih ada aset yang tersisa. Apalagi hingga sekarang ini RUU Perampasan Aset juga belum dibahas dan disahkan oleh DPR. Mungkin dengan memiskinkan para koruptor bisa membuat jera mereka yang ingin melakukan perbuatan dan kejahatan yang sama.

Demikian juga yang namanya remisi atau pemotongan hukuman penjara harusnya dihapuskan, terutama untuk pelaku korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal yang sama juga dikenakan bagi para penegak hukum yang melakukan korupsi atau menerima suap untuk meringankan hukuman penjara bagi para koruptor, hukumannya harus diperberat karena tidak memberikan contoh yang baik dalam penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi.

Tampaknya, hanya dengan hukuman yang bersifat shock teraphy kejahatan korupsi bisa diminimalisir. Misalnya, buat penegak hukum yang melakukan perdagangan kasus hukum, dikenakan hukuman maksimal atau pidana maksimal, bukan hukuman yang ringan. Sedang bagi pelaku korupsi diberikan identitas eks-koruptor di KTP-nya, memakai pakaian tahanan saat persidangan, dan bagi yang sudah divonis diwajibkan menjalani hukuman penuh sesuai putusan pengadilan tanpa diberikan potongan tahanan ( Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009 hal. 201).

Shock therapy ini mungkin bisa meniru sebagian negara yang memiskinkan pelaku koruptor dan membuat mereka hidup menderita. Di Singapura contohnya, pelaku korupsi dihukum dengan beberapa haknya dibatasi. Di antaranya tidak boleh memiliki rekening bank, tidak boleh punya kartu kredit, tidak boleh punya paspor, KTP diberi tanda XXX warna merah, tidak boleh naik kendaraan pribadi hanya boleh naik kendaraan umum, keluarga harus menanggung asuransi kesehatan, hukuman penjara maksimal hanya 6 bulan karena dianggap menghabiskan biaya negara, kalau melanggar aturan di atas dihukum lagi masuk penjara maksimal 6 bulan (deskdiy.pikiran- rakyat.com 3 Mei 2023).

Di Korea Selatan seorang koruptor akan memakai baju tahanan saat persidangan. Bahkan, ada yang tangannya diborgol. Misalnya, mantan presiden Korea Selatan Park Geun-hye (65 tahun) pada tahun 2017 dalam kasus korupsi ditahan dalam penjara dan masuk persidangan dengan tangan diborgol. Dan, hukuman yang diterimanya juga cukup berat yaitu mendekam dalam penjara selama 20 tahun setelah banding, sebelumnya ia dituntut hukuman 30 tahun.

Hukuman bagi koruptor di Singapura dan Korea Selatan yang cukup membuat mereka malu dan menderita akan membuat siapa pun berpikir panjang untuk melakukan perbuatan korupsi. Rasanya, Indonesia perlu meniru model hukuman yang demikian. Indonesia perlu meniru model hukuman yang membuat pelakunya menderita dan miskin sehingga perilaku korupsi bisa dicegah. Kalau hukumannya tidak mampu membuat kapok dan jera, maka ke depan makin sulit memberantas korupsi. Dan pelaku-pelaku korupsi yang baru akan terus bermunculan dengan subur. Allahu’alam.

Prof.Dr.Amsal Bakhtiar,MA, Dosen dan Plt. Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Pengembangan Usaha Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok, Jawa Barat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here