UNHAS: Nelson Mandela, Jusuf Kalla, Syekh Yusuf dan Perdamaian Dunia

0
130
- Advertisement -

Kolom Hafid Abbas

Promotor Doktor Kehormatan Nelson Mandela dari UNHAS 2005

Pada 1947, di masa awal kemerdekaan, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan multi campuses management dengan menempatkan Universitas Indonesia (UI) sebagai pembina dan pengelola berbagai universitas di tanah air sesuai dengan corak keunggulannya masing-masing, misalnya: Kampus UI di Bandung untuk Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UI di Surabaya (Kedokteran dan Kedokteran Gigi), dan Makassar (Ekonomi dan Hukum), dan seterusnya.

Dengan pendekatan itu, mutu pendidikan tinggi lebih merata dan sekaligus menciptakan harmoni interaksi antarpusat-pusat keunggulan keilmuan (center of excellence) agar saling bersinergi bagi pemajuan ekonomi, sosial dan budaya antardaerah di seluruh tanah air.

Barulah pada 1956, pusat-pusat keunggulan itu diperluas mandat keilmuannya menjadi universitas-universitas yang lebih otonom. Pada 10 Sept. 1956, misalnya, Kampus UI di Makassar secara resmi berubah menjadi Universitas Hasanuddin (UNHAS) seperti wujudnya saat ini.

Karenanya tidaklah mengherankan jika alumni UNHAS banyak dikenal ketokohannya di bidang Ekonomi, seperti Jusuf Kalla dan Tanri Abeng, dan Baharuddin Lopa untuk hukum.

Setelah melintasi perjalanan sejarahnya lebih tujuh dekade, kini UNHAS telah tercatat sebagai salah satu Universitas Berkelas Dunia, berada di peringkat 951-1000 menurut QS World University Ranking 2025, dengan pencapaian tertinggi pada indikator rasio dosen-mahasiswa di posisi ke-484 di dunia (Tribun-Timur, 24/06/2025). Sedangkan Webometrics (2024) menempatkan UNHAS di peringkat ke-480 terbaik di Asia, dan ke-11 terbaik di antara lebih 4500 perguruan tinggi di tanah air.

Dengan fakta-fakta itu, dengan jejaring alumninya yang berpengaruh di tingkat nasional, regional dan internasional dalam memajukan perdamaian, menyelesaikan konflik melalui aksi nyata, UNHAS berpeluang menjadi salah satu pusat kajian perdamaian terbaik di dunia.
Prospek itu, didukung oleh fakta-fakta berikut.

Pertama, dengan ketokohan Nelson Mandela, penerima gelar Doktor Honoris Causa dari UNHAS (10/09/2005), Presiden pertama kulit hitam Afrika Selatan 1994-1999, simbol perjuangan anti-apartheid dan rekonsiliasi nasional yang disebut oleh PBB sebagai the Father of World Peace, dan penerima Nobel Perdamaian pada 15 Oktober 1993, UNHAS dapat menjalin kerjasama strategis dengan universitas dan institusi-institusi perdamaian di Afrika Selatan khususnya, dan Afrika serta negara-negara non-blok (non-aligned movement) pada umumnya. Kedekatan UNHAS dengan Afrika Selatan diperkuat dengan pertalian sejarah dan budaya yang sudah terjalin berabad-abad antara kedua rumpun warga Masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan (Indonesia) dengan warga Bugis-Makassar yang mendiami kota Macassar di Western Cape (Afrika Selatan).

Pertalian sejarah panjang itu berawal ketika Syekh Yusuf bersama rakyat Banten melawan penjajahan Belanda yang kemudian ia diasingkan oleh VOC ke satu daratan kering berbukit bernama Zandvliet, 6 km arah timur Cape Town, Afrika Selatan. Yusuf bersama 49 pengikutnya, dua istri beserta 12 anaknya tiba di tanah pembuangannya pada 14 Juni 1694 (IDNTimes Sulsel, 09/03/2025).

Di daerah pembuangannya, Yusuf kembali lagi berjuang membebaskan warga kulit hitam dari penindasan rezim apartheid. Komunitas perlawanannya dari hari ke hari semakin membesar sehingga daerah itu disebut Macassar. Bagi Mandela, Yusuf adalah sumber inspirasinya karena empat alasan: Yusuf rela berjuang bersama warga kulit hitam meski berbeda etnis dan kebangsaan; berjuang bukan di negeri kelahirannnya; berjuang tanpa mendapatkan imbalan; dan meninggal saat berjuang melawan penindasan. Sementara Mandela masih selamat meski telah dipenjara selama 27 tahun, berjuang di negerinya sendiri, berjuang bersama dengan suku-bangsanya sendiri, dan telah memetik hasil perjuangannya karena terpilih menjadi Presiden dan mendapatkan hadiah nobel. Sementara Yusuf tidak mendapatkan apa-apa karena sudah meninggal (the Jakarta Post, 15/09/2013).

Atas pertimbangan itu, pada awal 2005, kami bertiga, Rady Gani (Rektor UNHAS), Robert Evans (sahabat dekat Mandela) dan saya sendidri, berinisiatif mengusulkan ke UNHAS agar Mandela dianugerahi Gelar Doktor Kehormatan. Akhirnya usulan itu disetujui dan pada 10 Sept. 2005, penganugerahan itu dilaksanakan.

Demikianlah, pertalian akar sejarah dan sosial budaya yang sudah tumbuh selama berabad-abad antara Bugis-Makassar di Indonesia dengan warga Bugis-Macassar di Afrika Selatan. Pertalian ini adalah aset bagi Indonesia terutama UNHAS untuk mengembangkan pusat kajian perdamaian yang sesuai dengan agenda New Asia Africa Strategic Partnership (NAASP) untuk mendorong kerjasama antaruniversitas bagi perdamaian di Asia dan Afrika, dan sekaligus untuk mencetak lahirnya tokoh-tokoh perdamaian dunia dari kedua benua.
Kedua, dengan ketokohan Jusuf Kalla (JK), alumni UNHAS (1968), Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Ketua PMI, yang dikenal sebagai Bapak Perdamaian Indonesia yang telah memajukan perdamaian dan upaya-upaya kemanusiaan di berbagai belahan dunia, sungguh merupakan aset bagi UNHAS untuk memajukan pusat perdamaiannya tidak hanya di tanah air tetapi juga di berbagai belahan dunia, terutama di dunia Islam.

JK dalam tiga dekade terakhir telah menyelesaikan berbagai konflik komunal di tanah air antara lain: konflik antara umat Kristiani dan Islam di Poso pada 1998-2001 melalui Deklarasi Malino I (20 /12/2001), dan konflik serupa di Ambon pada 1999-2002 melalui Deklarasi Malino II (13/02/2002). Kesuksesan ini dapat dijadikan pelajaran berharga untuk menyelesaikan konflik serupa di mana pun.
Sebagai gambaran, konflik Poso telah menelan 577 korban jiwa, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar (Kompas, 30/07/2001). Sementara konflik Ambon telah menelan 8.000-9.000 warga meninggal, 700.000 pengungsi, dan 29.000 bangunan rumah warga dan rumah ibadah hangus terbakar (Kompas 23/01/2024). Namun lewat prakarsa JK, sejak penandatanganan Deklarasi Malino I dan II, suasana kehidupan damai dapat terwujud di daerah itu hingga saat ini.

Keberhasilan menyelesaikan konflik komunal seperti itu menjadi inspirasi abadi dan pembelajaran berharga (lessons learned) bagi bangsa mana pun untuk mengatasi konflik serupa di mana pun. Semoga UNHAS dapat meneruskan jejak JK dalam penyelesaian konflik dan sekaligus dapat mencetak tokoh-tokoh perdamaian secara berkelanjutan.
Ketiga, konflik berdarah di Aceh antara GAM dengan pemerintah RI telah berlangsung selama tiga dekade dengan menelan tidak kurang 30.000 korban jiwa. Dalam keadaan seperti tu, pada 24 Desember 2004, Aceh tiba-tiba dilanda lagi bencana tsunami amat dahsyat yang menelan lebih 200.000 korban jiwa, lebih setengah juta pengungsi dengan kerugian ekonomi berkisar USD7 miliar (UN,2005).

Namun atas kepeloporan JK bersama Hamid Awaluddin dan Farid Husein (alumni UNHAS) dan sejumlah tokoh lainnya, pihak GAM terbuka untuk menjalin dialog damai dengan Pemerintah Indonesia. Dialog itu akhirnya terlaksana di Helsinki dengan difasilitasi oleh Presiden Martti Ahtisaari bersama Juha Chistensen. Setelah melalui proses panjang, kesepakatan damai yang dituangkan dalam MoU Helsinki akhirnya dapat ditandatangani pada 15 Agustus 2005 oleh kedua pihak. Pihak GAM diwakili oleh Malik Mahmud dan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.

Sejak MoU Helsinki disepakati, tidak pernah lagi ada tetesan darah yang jatuh sia-sia di Aceh. Jika selama 30 tahun terdapat 30.000 korban jiwa (2-3 orang per hari) baik dari pihak GAM, TNI-Polri atau dari penduduk sipil yang tidak berdosa (Amnesty International 15/08/2013), sejak 15 Agustus 2005 hingga 15 Agustus 2025 (20 tahun), MoU Helsinki telah menyelamatkan 14.600 hingga 21.900 jiwa. Sejak itu pula, kerugian ekonomi akibat konflik yang berkisar USD330 juta setahun (IDR5,4 triliun) dan angka kemiskinan yang amat tinggi (UN, 2005), semuanya teratasi. Kini pertumbuhan ekonomi Aceh mencapai 5,6% setahun dan angka kemiskinan terus menurun secara signifikan (BPS,2024).

Yang menarik dari seluruh rangkain proses damai itu adalah dominasi peran alumni dan dosen UNHAS, bahkan Juha Chritensen sendiri pernah mengajar di UNHAS selama beberapa tahun di era kepemimpinan Achmad Amiruddin (19973-1982).

UNHAS sungguh berjasa dengan peran alumninya yang telah terlibat secara nyata menyelesaikan berbagai konflik di tanah air melalui dialog damai. Semoga keberhasilan itu akan dikenang abadi dan menjadi inspirasi untuk dilanjutkan dari generasi ke generasi hingga kapan pun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here