Boedi Oetomo dan Bangkitnya Guru Besar Kedokteran

0
185
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015

Lahirnya organisasi Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, merupakan momentum bangkitnya rasa nasionalisme dan semangat persatuan kaum bumiputra untuk mewujudkan kemerdekaannya. Organisasi ini diprakarsai oleh Soetomo dan kawan-kawan. Mereka adalah murid-murid sekolah pendidikan dokter bumiputra, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia). Tanggal lahir Boedi Oetomo kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Ketika bangsa Indonesia memperingati Satu Abad Kebangiktan Nasional (2008), Presiden RI, Soesilo Bambang Yoedoyono dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kembali mencanangkan suatu momentum sejarah, yaitu Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI). Pencanangan itu diselenggarakan di Istana Negara. Suatu bentuk apresiasi dari Bapak Presiden kepada IDI dan profesi dokter Indonesia.

Tahun ini, 20 Mei 2025 bertepatan hari lahir Boedi Oetomo dan Hari Kebangkitan Nasional, para guru besar kedokteran kembali menciptakan sejarah baru. Mereka bangkit menyampaikan suara kebenaran dan seruan keprihatinan. Bila tahun 1908 yang memelopori kebangkitan nasional adalah murid-murid sekolah kedokteran, maka tahun ini (2025), yang memelopori adalah guru dan maha gurunya para dokter (guru besar).

Selama ini, memang suara para guru besar kedokteran hampir tidak terdengar. Para guru besar dikenal sibuk dengan pengembangan keilmuan, mendidik, dan meneliti. Bagi yang klinisi kesibukannya pun bertambah, karena harus melayani pasien yang membutuhkan pertolongan.

Karena itu, ketika bangkit membuat aksi, muncul pertanyaan, ada apa sampai para guru besar kedokteran? Apalagi aksinya dilakukan serempak di seluruh Indonesia. Aksi yang bukan saja diikuti oleh para guru besar, tapi juga oleh dosen, peserta PPDS, dan mahasiswa kedokteran.

Bangkitnya Para Guru Besar

Momentum bangkitnya para guru besar (20 Mei 2025) ditandai oleh penyampaian beberapa poin pernyataan sikap, yang dapat dibaca di berbagai media. Pertama, menolak pengambilalihan kolegium dokter spesialis oleh pemerintah. Kolegium telah berperan selama 50 tahun dalam pengembangan berbagai cabang spesialisasi kedokteran.

Kedua, menolak kebijakan yang mengabaikan mutu dan prinsip ilmiah dalam pendidikan tenaga medis. Ketiga, menolak keputusan birokratis yang melemahkan dan memisahkan rumah sakit pendidikan dan sistem akademik. Keempat, menolak narasi yang menyudutkan tenaga medis dan institusi pendidikan.

Kelima, mendesak Presiden RI, DPR RI, dan para pemimpin bangsa untuk memprioritaskan keselamatan rakyat dan hak atas layanan kesehatan bermutu. Keenam, menuntut dihentikannya kebijakan kesehatan yang tergesa-gesa, tertutup, dan minim partisipasi publik yang bermakna.

Ketujuh, menuntut jaminan agar seluruh proses pendidikan tenaga medis tetap berbasis mutu, akuntabilitas akademik, dan perlindungan pasien melalui lembaga pendidikan yang telah teruji. Kedelapan, menyerukan untuk membangun kembali kondisi saling percaya dan saling menghargai antara pemerintah, institusi pendidikan, dan profesi kesehatan.

Momentum bangkit 20 Mei 2025 ini sebetulnya tidak berdiri sendiri. Sebab, empat hari sebelumnya (16 Mei) sudah ada aksi pendahuluan, oleh 158 guru besar di FKUI. Ke-158 guru besar ini menyampaikan suara kebenaran dan seruannya keprihatinan yang kurang lebih sama dengan sikap yang disampaikan oleh para guru besar pada tanggal 20 Mei. Usai menyampaikan sikap di depan media, 158 Guru Besar FKUI ini kemudian melayangkan surat kepada Presiden RI, Prabowo Subianto.

Bahkan sebelum aksi di FKUI, guru besar dan civitas akademika FK KMK UGM pun telah melakukan aksi. Mereka memprotes arah transformasi dan dinamika di bidang kesehatan nasional. Aksi yang berlangsung kampus UGM dan diberitakan berbagai media itu berlangsung, 7 Mei 2025. Aksi ini lebih dikenal dengan “Suara Bulak Sumur”.

Dari poin-poin sikap para guru besar yang beredar di berbagai media di atas, rasanya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan, mengapa para guru besar itu bangkit melakukan aksi. Pertanyaan berikut, mengapa harus mengirim surat kepada Presiden? Jawabnya, agar Presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan dapat mengetahui betul duduk persoalannya yang sebenarnya.

Bila masih ada yang Bapak Presiden ingin ketahui, harapannya agar Bapak Presiden dapat mengundang ataupun memanggil langsung para guru besar, untuk berdialog secara ilmiah. Dan terakhir, para guru besar sangat berharap agar Bapak Presiden dapat menyelesaikan. Sebab, sengan selesainya masalah ini maka para guru besar dan para dokter dapat kembali bekerja dengan baik. Bermitra dan bergandeng tangan dengan pemerintah untuk mendidik dokter dan dokter spesialis serta melayani kesehatan masyarakat.

Mengapa, guru besar tidak menyurat saja kepada Menkes? Para guru besar sudah sering menyurat, bahkan bertemu langsung, tapi para guru besar merasa tidak ada gunanya. Karena, semua masukan dan harapan guru besar tidak digubris oleh Menkes. Menkes selalu merasa benar sendiri dan berjalan sesuai pendapatnya sendiri.

Bahkan setelah para guru besar melakukan aksi dan menyurat kepada Presiden pun, Menkes tetap membuat framing negatif yang cenderung fitnah, membuat narasi tak berdasar, dan melakukan intervensi. Intervensi terhadap institusi pendidikan kedokteran yang nyata-nyata berada di bawah koordinasi Kemdiktisaintek. Bukan berada di bawah Pusdiklat – Kemenkes.

Akibat intervensi yang tak ada henti itu, maka 12 Juni 2025, sebanyak 372 guru besar dari 23 perguruan tinggi kembali melakukan aksi lanjutan. Sikapnya makin tegas. “Tidak lagi dapat mempercayai Menkes untuk mempimpin reformasi dan tata kelola kesehatan di Indonesia.”

Salah satu guru besar yang nara sumber pada webinar Forkom IDI (18 Mei 2025), mengatakan bahwa sejak Menkes mulai mewacanakan untuk membuka PPSD berbasis rumah sakit telah muncul kekhawatiran dari para guru besar. Mereka khawatir akan mutu dokter spesialis yang dihasilkannya. Dan, itu artinya keselamatan pasien dan masyarakat yang menjadi taruhannya.

Kekhawatiran tersebut kembali melunak atau mereda, setelah Menkes berjanji tidak akan membuka program PPDS berbasis rumah sakit, di rumah sakit vertikal yang selama ini (kurang lebih 50 tahun) bermitra dengan institusi pendidikan kedokteran untuk menjalankan PPDS berbasis universitas. Kekhawatiran kembali mencuat karena Menkes bergeser, “meninggalkan tempat berdirinya yang semula”.

Filosofi “Tungku Tigo Sajarangan”

Diketahui, selama ini pendidikan dokter dan dokter spesialis/subspesialis di Indonesia, berbasis universitas. Meski disebut berbasis universitas, bukan berarti pihak universitas mengerjakan sendiri tanpa melibatkan pihak lain.

Kita sering mendengar filosofi “Tungku Tigo Sajarangan” dalam pendidikan kedokteran. Filosofi atau tatanan yang berasal dari budaya Minangkabau ini dipopulerkan oleh Prof. F. A. Moeloek ketika menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar IDI (2003-2006). Tujuannya, agar dapat diterapkan dalam menata profesi kedokteran di Indonesia.

Filosofi ini kemudian diterima baik oleh para dokter, baik di ranah pelayanan maupun ranah pendidikan. Di ranah pendidikan, “Tungku Tigo Sajarangan”, meliputi: kolegium disiplin ilmu, institusi pendidikan, dan rumah sakit pendidikan serta jejaringnya.

Prof. Moeloek selalu menggambarkan “Tungku Tigo Sajarang” sebagai proses masak-memasak. Kolegium diibarakan sebagai pembuat resep atau menu, institusi pendidikan sebagai juru masak atau koki, Sedang, rumah sakit pendidikan dan jejaringnya sebagai tempat memasak atau dapur. Setelah masakan matang, maka pembuat resep berhak dan bahkan wajib mencicipi atau menguji sebelum dihidangkan.

Uji tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apakah masakan yang dibuat oleh koki sudah sesuai dengan resep yang dibuat oleh pembuat resep. Bila, belum sesuai maka pembuat resep berhak meminta kepada koki untuk menyempurnakan masakannya. Bahkan bila perlu memintanya untuk memasak ulang. Begitulah “Tungku Tigo Sajarang” bekerja. Berkolaborasi secara profesional dan proporsional sesuai bidang tugas masing-masing. Tanpa harus saling mengganggu dan mengintervensi.

Kembali kepada pendidikan kedokteran. Setelah peserta didik diuji, dinyatakan lulus dan kompeten oleh kolegium, barulah kolegium mengeluarkan secarik kertas sebagai keterangan lulus dan kompeten. Secarik kertas ini disebut Setifikat Kompetensi. Sertifikat dibawa ke Konsil Kedokteran (lembaga negara) untuk mengurus Surat Tanda Registrasi (STR). STR digunakan untuk mengurus Surat Izin Praktik (SIP) di dinas kesehatan kabupaten/kota ketika mau berpraktik.

Tugas Menkes baru efektif ketika seorang dokter atau dokter spesialis sudah mengantongi STR dan mau berpraktik. Tugas Menkes adalah mendistribusikan dokter tersebut ke pelosok negeri. Begitulah keteraturan yang terjadi setelah lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Setelah Menkes mendistribusikannya, bukan berarti tugasnya sudah selesai. Menkes masih perlu memfasilitasi pengurusan SIP, menyediakan tempat pratik, gaji/honor dan insentifnya, tempat tinggalnya, sarana transportasi untuk mengunjungi pasien, perlindungan dan keselamatannya, jaminan sosialnya (JK, JKK, JKm, JP, JHT), dan seterusnya.

Jadi, seharusnya Menkes dan jajarannya bersabar saja dulu. Tidak perlu membuat narasi melalui media dan merasa tidak dilibatkan. Begitulah seharusnya sistem bekerja. Sebab, toh pada akhirnya kalau sudah sampai kepada urusan pelayanan pasti akan menjadi tugas utama Menkes. Tugas yang lumayan berat.

Catatan Akhir

Boedi Oetomo adalah organisasi kebangsaan pertama, yang lahir 20 Mei 1908. Organisasi ini menandai bangkitnya semangat kebangsaan kaum bumiputra. Bangkit dan bersatu untuk berjuang melawan segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.

Setelah 117 tahun berlalu, 20 Mei 2025, para guru kedokteran memelopori kebangkitan baru. Bangkit menyampaikan sikap tegas atas kebijakan Menkes yang dinilai mengganggu kebebasan akademiknya. Para guru besar menilai bahwa seharusnya Menkes tidak membiasakan diri membuat framing negatif terhadap guru besar, institusi pendidikan, dan kolegium, yang mengurusi pendidikan dokter dan dokter spesialis.

Pun, tidak ikut cawe-cawe dalam urusan pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang merupakan wilayah koordinasi Kemdiktisaintek. Bukankah tugas utama Menkes berada di bidang pelayanan kesehatan?

Biarkanlah mereka yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dokter dan dokter spesialis ini berkoordinasi dengan Kemdiktisaintek, yang memang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan tinggi. Andai mereka membutuhkan sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan pasti akan berkonsultasi langsung kepada Menkes atau berkonsultasi kepada Menkes melalui Kemdiktisaintek. Wallahu a’lam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here