Kolom Fiam Mustamin
Pertemuan kami terjadi pertengahan Mei 2025, di atas sebuah kapal laut yang berlayar dari Makassar menuju Surabaya. Sejak saat itu, komunikasi dan interaksi kami berlanjut di Jakarta—sebuah ruang urban di mana ide-ide bertemu dan pengalaman dibagikan dengan leluasa.
Brader Roby, demikian saya memanggilnya, adalah sosok bertubuh atletis yang setiap hari hadir menghibur dengan rekaman lagu-lagu Barat yang dinyanyikannya sendiri. Kadang ia tampil solo, kadang bersama komunitasnya. Namun lebih dari sekadar hiburan, setiap karya vokalnya menyiratkan kepekaan terhadap hidup dan kehidupan.
Yang membuatnya istimewa, setiap hari Bro Roby juga membagikan aktivitasnya melalui lukisan, sketsa, dan panorama tempat-tempat yang disinggahinya. Tak sekadar visual, setiap unggahan selalu disertai narasi—sebuah pesan suci yang mengajak untuk merefleksikan nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Ia bukan hanya penyanyi, tetapi juga seniman dan budayawan yang memahami betul makna perjalanan dan penciptaan.
Ketika singgah sehari di Makassar, Roby mengunggah foto Pantai Losari dengan latar Golden Hotel. Ia menangkap sudut pandang yang begitu menggugah—menyentuh kembali kenangan masa remaja saya. Di pantai itu dulu saya sering menikmati senja, menyaksikan ombak pecah di bibir pantai. Di seberangnya, Pulau Lae-Lae dan Kayangan sering saya datangi di hari libur. Tempat itu telah menjadi inspirasi bagi lahirnya puisi, cerpen, bahkan film layar lebar.
Dalam perjalanan hidup dan lakonnya sebagai seniman, Roby aktif di Komunitas Kasih Karunia Tuhan (KKT). Ia adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang secara nyata menyerap nilai-nilai budaya Bugis-Makassar: solidaritas, kesetiakawanan, serta keteguhan pada kebenaran.
Tak berlebihan bila saya katakan, Roby Wattimena adalah salah satu putra terbaik bangsa dari Kawasan Timur Indonesia. Suaranya menyuarakan cinta dan kemanusiaan; narasinya membingkai semangat kebangsaan dalam simfoni Nusantara: satu rasa, satu jiwa, satu Indonesia.