Menjaga Kemuliaan Martabat Manusia

0
85
- Advertisement -

Kolom Amsal Bakhtiar

Belakangan ini dalam masyarakat kita terjadi semacam “saling hujat” yang dipicu pernyataan tokoh-tokoh purnawirawan TNI terkait masalah pemakzulan Wapres. Kemudian timbul pula soal premanisme yang memunculkan pula suasana jadi runcing dan panas karena ada lontaran yang dianggap merendahkan antara ormas dan purnawirawan TNI.

Terselip dalam silang kegaduhan tersebut pembicaraan soal kehormatan, baik kehormatan institusi maupun kehormatan secara pribadi dan personal. Kita tidak ingin terlibat dalam persoalan keriuhan tersebut. Namun, yang kita diskusikan di sini adalah pembicaraan konseptual terkait apa sesungguhnya kehormatan manusia tersebut.

Dalam perspektif agama bahwa manusia itu adalah makhluk yang mulia sejak ia dilahirkan. Dalam Al-Qur’an surat al-Isra ayat 70 Allah berfirman,”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

Dari ayat di atas dijelaskan bahwa manusia memiliki banyak kelebihan dari makhluk lainnya. Apa saja kelebihan manusia tersebut? Secara fisik-anatomi manusia mungkin memiliki banyak kesamaan dengan makhluk lainnya seperti hewan. Namun, secara rohaniah manusia memiliki kelebihan dan keunggulan dibanding makhluk lainnya.

Mengutip uraian Drs.NA. Rasyid Dt. Mangkudun dalam bukunya Manusia Dalam Konsepsi Islam (Jakarta,CV Karya Indah, l980 hal. 17-19) menyebutkan, perbedaan manusia dengan makhluk lainnya terletak pada sifat-sifat rohaniahnya. Pertama, manusia memiliki akal budi yang berfungsi dapat berpikir dan berbuat melebihi kemampuan hewan. Dapat memahami hal-hal yang abstrak dan dapat pula mengabstraksikan hal-hal yang kongkret. Dengan akal manusia dapat menghubungkan sebab akibat, menghubungkan masa lalu dengan masa yang akan datang. Mengerti lambang-lambang, bahasa dan lainnya. Dengan akal, manusia dapat meyakini dan menyadari adanya Tuhan yang wajib ditaatinya. Dengan akal pula manusia melahirkan kebudayaan, menciptakan norma-norma sosial untuk kerukunan hidup bersama.

- Advertisement -

Dengan akal, manusia bisa memahami firman-firman Allah yang diwahyukan kepada para Rasul. Kemudian dengan akal manusia juga bisa menjadi manusia kreatif dan mencipta. Berdasarkan kelebihan akal di atas manusia memiliki posisi dan derajat yang tinggi dan mulia dibandingkan makhluk lainnya.

Manusia juga kaya dengan sebutan yang menunjukkan keutamaan dan kelebihannya dari makhluk lainnya. Antara lain manusia disebut sebagai Homo Sapiens atau makhluk yang bijaksana, Homo Faber manusia yang pandai bekerja menggunakan alat, Homo Lequens, makhluk yang pandai berbicara, Homo Sosial atau makhluk yang bermasyarakat, Homo Religius, makhluk yang beragama, dan Homo Ludens atau manusia yang bermain.

Sementara itu pemikir filsafat Prof. Franz Magnis Suseno SJ, menjelaskan manusia memiliki derajat lebih tinggi dari makhluk lainnya karena memiliki akal budi, sedangkan binatang tidak memilikinya. Dengan akal budi tersebut manusia mempunyai kelebihan di antaranya, manusia dapat mengerti kebenaran, berkemauan bebas dan dapat menentukan sikap sendiri, memiliki suara hati dan menyadari adanya tanggung jawab, dan manusia juga menyadari sebagai ciptaan Allah.

Menurut Romo Magnis, dengan kelebihan manusia di atas manusia wajib dihormati martabatnya ( Dr. Franz Magnis Suseno, Pembangunan dan Konsepsi Manusia, dalam A. Rifai Hasan, editor, Tinjauan Kritis Tentang Pembangunan, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, Desember l985 hal.45).

Merujuk pada kemuliaan dan tingginya martabat manusia tersebut, maka sangat tidak tepat kalau di antara manusia terjadi sikap saling merendahkan, saling menista dan mencaci maki. Manusia yang merendahkan manusia lainnya pada hakikatnya ia merendahkan dirinya sendiri. Sebab, seperti yang diuraikan di atas secara filosofis dan hakikinya adalah bahwa manusia sebagai ciptaan Allah sejak dilahirkan telah menyandang martabat yang mulia.

Dalam kehidupan sehari hari pun kemuliaan manusia tidak bisa disejajarkan dengan fungsi-fungsi atau tingkat kecakapan yang dimilikinya. Misalnya, kita tidak bisa mengatakan manusia yang miskin, manusia yang tidak punya keterampilan, manusia yang kurang pendidikan dan kekurangan lainnya sebagai manusia yang bermartabat rendah atau hina. Manusia tidak bisa diperbandingkan dengan mesin, dengan komputer dan benda-benda lainnya yang mungkin multi guna dan bisa produktif bekerja. Manusia tetaplah manusia yang memiliki martabat mulia.

Kemuliaan manusia tersebut karena dia adalah ciptaan Allah. Dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang menjelaskan penciptaan tersebut, baik awal manusia Adam maupun keturunannya yang dilahirkan. Dalam surat al-Fathir ayat 11 dijelaskan,” Dan Allah menjadikan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan)”.
Lebih rinci lagi diuraikan dalam surat al-Mukminun ayat 12-14,” Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).

Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik”.

Proses kejadian manusia yang bersifat fisik dalam kandungan manusia (wanita) selama 120 hari atau 4 bulan. Setelah proses tersebut maka Allah meniupkan ruh ke dalam janin si bayi. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat as-Shaad ayat 72,” Maka apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku maka tunduklah kamu dengan bersujud kepada-Nya.”

Setelah ditiupkan ruh maka manusia memiliki daya hidup. Tidak hanya sampai di situ, Allah pun mengadakan dialog dan kesaksian kepada manusia. Hal ini terungkap dalam surat al-A’raf ayat 172,” Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “ Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab,” Betul ( Engkau) Tuhan kami, kami bersaksi. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan ,” Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”.

Di samping itu Allah juga memberi catatan bahwa manusia dijadikan dalam bentuk yang terbaik”, Sesungguhnya Kami jadikan manusia dalam bentuk yang terbaik,” (at-Tin ayat 4).

Karena manusia ciptaan Allah, maka di antara manusia pun harus saling menghargai sesamanya. Jika seseorang merendahkan manusia maka berarti dia juga merendahkan atau meremehkan Allah. Sebab, manusia itu ciptaan Allah, apalagi manusia hidup setelah ditiupkan ruh-Nya yang berasal dari Zat Yang Mulia. Menurut Ali Syariati, “Roh Allah” itu adalah simbol dari gerakan tanpa henti ke arah kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas, ”Roh Allah” merupakan ungkapan terbaik untuk menyatakan kemuliaan (Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam, Penerbit Ananda, Yogyakarta, l982 hal.114).

Karena itu, sesungguhnya tidak boleh ada usaha untuk mempertentangkan antara menghormati Allah dan menghormati manusia. Keduanya harus dihormati.
Dalam penghormatan manusia pada sesamanya dan kepada Allah, disitulah terletak martabat manusia. Maka, jika dirumuskan secara rinci martabat manusia itu harus dengan menjaga dan memelihara, pertama, dengan menguatkan iman kepada Allah. Iman kepada Allah yaitu meyakini adanya Allah, menaati perintah-Nya, menghentikan larangan-Nya, dan menjalankan syariat-Nya. Dalam keimanan ini juga meyakini adanya kehidupan sesudah mati atau kehidupan akhirat, kepercayaan pada Malaikat, Rasul, para Nabi, neraka, surga, dan takdir Allah. Dalam Al-Qur’an surat al-Hadid ayat 8 Allah berfirman,” Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul mengajak kamu beriman kepada Tuhanmu? Dan Dia telah mengambil janji (setia)mu, jika kamu orang-orang mukmin”.

Manusia akan meningkat martabatnya jika ia selalu berusaha menaikkan kualitas imannya. Dalam konteks ini antara lain bahwa dalam hidup ini ia selalu berusaha mencari rida Allah atau ibtigha’a mardatillah. Pilihan hidupnya akan selalu ditentukan apakah disitu terdapat rida Allah atau tidak. Konsekuensi dari pilihan hidup ini ia bakal memiliki pandangan dan pendirian hidup yang kuat. Ia tidak akan takut mendapatkan hinaan dan cacian dalam hidup ketika ia tidak mau hanyut dalam perbuatan yang tidak diridai Allah, meskipun model atau gaya hidup tersebut sedang menjadi budaya atau trending dalam masyarakat. Sebutlah misalnya budaya hidup korupsi, bermaksiat, perjudian dan lainnya.

Kedua, martabat manusia juga memiliki nilai plus jika tujuan hidupnya hanya didedikasikan untuk menyembah Allah. Ibadah dijalankan dengan rutin dan diutamakan dalam kehidupan. Dijalankan dengan penuh disiplin, bukan hanya ibadah wajib, tapi juga ibadah sunat sebagai pelengkap dan penyempurna ibadah wajib.
Ketiga, martabat manusia juga akan harum dalam pandangan Allah jika ia menjadi seorang dermawan. Suka bersidakah dan beramal saleh karena Allah dan mencari rida Allah. Martabat manusia akan naik derajatnya jika ia dermawan dan suka memberikan bantuan dengan hartanya pada orang yang sangat membutuhkan. Seorang dermawan disayang manusia dan dikasihi Allah. Bahkan, dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 110 Allah menjelaskan jika ingin bertemu dengan-Nya, maka lakukanlah amal saleh,” Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.

Keempat, seorang manusia yang bermartabat juga adalah manusia yang suka bersyukur kepada Allah. Tahu berterima kasih atas nikmat dan karunia yang diberikan Allah. Seorang yang bersyukur selain memuji Allah dengan mengucapkan Alhamdulillah, juga menggunakan semua nikmat yang diperolehnya pada jalan yang diridai Allah, dan menjauhi nikmat Allah dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah.

Kita bisa menyimpulkan bahwa martabat manusia itu adalah sebuah kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia, dan manusia harus memelihara martabat kemuliaan itu dengan menjaga hubungan baik dengan Allah (hablum minallah) dan menjaga hubungan baik pula dengan sesama manusia (hamblum minannas), dan tentunya juga menjaga hubungan baik dengan lingkungan atau alam serta makhluk lain ciptaan-Nya.

Namun, perlu juga diingat bahwa al-Qur’an juga menjelaskan bahwa kalau manusia tidak menyadari kedudukan yang begitu mulia, maka akhirnya dia akan terjun ke lembah kehinaan. Sebagaimana dalam Surat al-Tin disebutkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik, kemudian dikembalikan pada posisi yang paling bawah (hina dina). Di sisi lain, semboyan para filosof dan pemikir tentang kemuliaan manusia, terdapat juga semboyan gelapnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes, yaitu Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi yang lainnya).

Dengan demikian, manusia akan mulia ketika menyadari dirinya sebagai makhluk yang tertinggi dibandingkan dengan makhluk lain. Adapun jika dia keluar dari fitrah yang sebenarnya, maka dia lebih hina dari makhluk lain. Atas dasar itu, sepatutnya kita sebagai makhluk yang mulia mempertahankan kemuliaan tersebut dengan budi akhlak yang baik dan selalu berbuat baik untuk semua makhluk di alam ini.

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,MA, Dosen dan Plt. Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Pengembangan Usaha Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok, Jawa Barat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here