Catatan Fiam Mustamin
Perjalanan dengan Kapal Laut Labobar selalu membawa saya kembali ke ruang kenangan yang tak lekang oleh waktu. Kapal milik Pelni ini menempuh rute panjang: dari Bau-Bau di Buton, melintasi Ambon dan Makassar, menuju Tanjung Perak Surabaya, hingga berlabuh di Tanjung Priok Jakarta. Empat hari pelayaran ini tak sekadar perpindahan geografis, tapi juga perjalanan batin yang memanggil kembali kenangan masa muda.
Di kapal ini, penumpangnya begitu beragam. Kebanyakan adalah warga Jawa dan Kalimantan yang hendak kembali dari wilayah timur Indonesia, singgah sejenak di Surabaya atau Jakarta. Di antara gemuruh mesin dan ayunan ombak, setiap wajah menyimpan kisah—tentang perantauan, harapan, dan kerinduan.
Salah satu momen paling syahdu adalah ketika kapal hendak masuk atau keluar dari pelabuhan Makassar. Saat itu, kapal melintasi sebuah titik yang tak asing bagi siapa pun yang pernah tinggal di kota ini: Gusung Tallang dan Pulau Lae-Lae. Tempat ini berada tak jauh dari Pulau Kayangan, hanya sekitar satu kilometer dari pesisir kota, dan biasanya dicapai dengan perahu sampan di malam hari.
Di Gusung Tallang—sebuah timbunan daratan pasir yang tak seberapa luas—kenangan saya bersama almarhum aktor dan seniman Rahman Arge hidup kembali. Di sanalah, beliau membimbing kami, para siswa, untuk menyelami makna penghayatan terhadap alam. Apa yang kami dengar dan rasa di tempat itu—angin, debur ombak, lengang malam, desir pasir—menjadi bahan ekspresi dalam bentuk puisi, gerak, atau diam yang penuh makna.
Kami begitu terlibat dalam proses itu. Setiap ekspresi adalah cermin dari perasaan yang dalam, lahir dari pengalaman menyatu dengan alam. Gusung itu seolah menjadi panggung spiritual, tempat kami belajar memaknai hening dan bunyi, kosong dan isi, dalam bingkai kesenian dan kesadaran lingkungan.
Kini, dalam pelayaran ini, dua jam berlalu dan kapal terasa seolah mengambang di tengah samudra tak bertepi. Tak terlihat daratan. Yang terdengar hanya getaran mesin yang mengalun monoton. Dalam kondisi seperti itu, lamunan saya pun mengembara.
Tiba-tiba saja, terdengar dari pengeras suara atau dari salah satu penumpang yang memutar lagu: Anging Mammiri, lagu yang begitu ikonik dan penuh rasa. Suara lembut itu membawa saya pulang. Pulang pada kota Daeng. Pulang pada masa remaja. Pulang pada suara laut, bisikan angin, dan gumam doa para perantau.
Berlayar dengan Kapal Labobar bukan hanya soal perpindahan tempat. Ia adalah ritual kecil yang membawa saya menyusuri kenangan. Dan dari kenangan itulah, saya merasa hidup kembali.