Kolom Amsal Bakhtiar
Salah satu predikat atau penilaian banyak orang terhadap Bung Hatta yang rasanya jarang didapat pemimpin lain adalah bahwa Bung Hatta orang jujur, orang baik, orang yang saleh dan taat beragama dengan megerjakan ibadah shalat, puasa dan lainnya, serta memiliki integritas bukan hanya secara pribadi, tetapi juga dalam perilaku politik, berdemokrasi dan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita jarang melihat ada tulisan yang mengkritik Bung Hatta terutama dari aspek integritas dan keutamaan pribadi dan akhlaknya, termasuk perilaku politiknya. Sehingga nyaris Bung Hatta seorang pemimpin yang diakui memiliki tauladan yang baik dan terpuji.
Sebagai contoh pengakuan ini antara lain dikemukakan oleh mantan Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri (l962-i967) ,” Bung Hatta orang baik, jujur, cakap, tegas,berani, ikhlas berkorban, sederhana hidupnya, tidak menumpuk kekayaan, seorang Muslim yang saleh, dan pejuang hingga akhir. Jika semua orang berpendapat demikian, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menganggap demikian”( Kompas, 10 Mei l980 dimuat dalam KH Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jilid II, Jakarta, PT Gunung Agung, l981 hal. 123).
Hampir setiap penulis yang mengulas tentang Bung Hatta selalu mengungkapkan kepribadian dan kesempurnaan akhlak Bung Hatta. Ahmad Syauqi Fuady dari STIT Muhammadiyah Bojonegoro menjelaskan, tetsimoni orang dekat Bung Hatta, baik kawan maupun lawan politiknya mengakui integritas dan kebaikan akhlak Hatta. Hatta dinilai menjalankan agama dengan teguh dan utuh. Shalat dan puasa tidak pernah bolong. Ketika menempuh pendidikan di Belanda kawan-kawan sesama pendidikan menceritakan bahwa Hatta selalu menunaikan shalat, tidak pernah main perempuan, tidak suka keluar malam, dan tidak suka minuman keras. John Ingleson, seorang penulis biografi Hatta mengatakan, dalam tahun l920-an ketika menjadi mahasiswa di Negeri Belanda, Hatta terkenal yang memiliki koleksi buku paling banyak di antara mahasiswa Indonesia lainnya. Kawan-kawannya mengungkapkan, Hatta tidak pernah ikut serta dengan rekan-rekannya seperti ikut berdansa, menonton bioskop dan lainnya. Hatta lebih sibuk dengan kegiatan politik ( John Ingleson, Mohammad Hatta, Cendekiawaan, Aktivis dan Politikus, Prisma Nomor 1 Januari l982 hal. 62 ).
Hasanul Rizka, menulis di Republika co.id mengutip Sekretaris Pribadinya Bung Hatta, I Wangsa Widjaja, bahwa Hatta tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan puasa walaupun dalam perjalanan dinas, Bung Hatta juga tidak mau menggunakan uang negara untuk keperluan pribadi. Baginya haram memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi, kepada sanak saudara dan kerabatnya.
Ketika berangkat haji, Presiden Sukarno menawarkan pesawat terbang dengan biaya negara, namun Hatta menolak dengan alasan ingin berangkat haji sebagai rakyat biasa, bukan sebagai wakil presiden RI. Dan ia berangkat haji dari honorarium buku yang dikarangnya.
Zulfikri Suleman dalam tulisannya Hatta, Islam dan Negara menyebutkan, pendidikan agama Islam yang diterima Hatta telah menjadikannya seorang muslim yang takwa, tawakkal dan tawadhu’. Sikap ini kemudian termanifestasikan dalam kehidupannya sehari-hari dengan ketekunan dan kedisiplinan menjalankan ibadah shalat lima waktu, berpuasa, melaksanakan haji ke Makkah, dan membayar zakat.
Kemudian Hatta yang juga seorang yang sabar dan bertawakkal kepada Allah. Sikapnya yang teguh ini terutama ketika mendapat cobaan dalam perjuangan kemerdekaan ketika dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Digul dan Banda Neira, dan termasuk ketika menghadapi ancaman pembunuhan Kempetai di masa pendudukan Jepang.
Bahkan, dalam usia yang masih muda, 24 tahun, ketika belajar di Belanda dan aktif dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia, Hatta termasuk salah seorang pemuda yang berani. Ia sudah tampil menyuarakan kemerdekaan Indonesia di forum-forum internasional, seperti Kongres Internasional Demokrastis Untuk Perdamaian di Bierille, Paris, Perancis, Agustus 1926, kemudian Hatta juga tampil dalam forum Liga Anti Imprealisme dan Penindasan Kolonial di Brussel, Belgia, 15 Pebruari 1927.
Ketika empat mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, termasuk Hatta, dituduh melakukan pemberontakan dan politik kekerasan, Hatta tampil melakukan pembelaan dengan judul “ Indoneasia Vrij “ atau Indonesia Merdeka. Hatta salah satu pentolan mahasiswa Perhimpunan Indonesia yang dinilai berani menyuarakan kemerdekaan Indonesia, meski hidup di masa penjajahan kolonial Belanda yang keras bertindak terhadap para aktivis pejuang kemerdekaan dengan hukuman dibuang ke daerah terasing ( Tentang Perhimpunan Indonesia, Lihat Dr. Ali Sastroamidjojo,SH, Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, Idayu Press (Jakarta, l977).
Yudi Latif seorang cendekiawan muslim menyatakan, Bung Hatta seorang yang mempunyai keyakinan keagamaan yang teguh, memiliki keyakinan agama yang membawa berkah pada kehidupan (( Media Indonesia, 11/8/2021).
Pandangan Keislaman Bung Hatta
Apresiasi positif yang diberikan banyak tokoh dan juga masyarakat terhadap integritas, akhlak mulia, moralitas dan kemusliman dan kesholehan Bung Hatta merupakan suatu konsep yang patut dicermati. Dengan memahami dan mencermati hal ini bisa menjadi teladan dan contoh dalam rangka pendidikan, pengajaran dan dakwah agama Islam.
Sebagaimana yang dialami banyak tokoh-tokoh ulama terkenal, Bung Hatta mendapatkan sosialisasi nilai-nilai Islam dan ajaran Islam dari keluarga dekat, yang juga secara kebetulan merupakan ulama yang mumpuni dalam ilmu keislaman, kesholehan dan kemuliaan akhlaknya.
Hatta yang merupakan putera dari pasangan Haji Muhammad Djamil dan Siti Saleha ini lahir pada 12 Agustus 1902. Kakeknya dari pihak ayah, Syekh Abdurrahman, dikenal sebagai tokoh Tarekat Naqsyabandiyah . Ayah Bung Hatta, Muhammad Djamil, juga dikenal sebagai ulama muda, namun ia meninggal ketika Bung Hatta baru berusia 8 bulan. Pendidikan agama Hatta kemudian diserahkan pada pamannya, Haji Arsyad, dikenal dengan sebutan Syekh Batuhampar, yang kemudian menggantikan memimpin Tarekat Nasyabandiyah dengan sebutan “ Tuanku Nan Mudo”.
Bung Hatta ketika lahir memang sudah diharapkan menjadi seorang tokoh yang shaleh, ini tentu tidak terlepas melihat lingkungan keluarga dan kerabatnya merupakan turunan dan memiliki aliran darah keluarga sufi. Namanya sendiri pun terilhami dari nama Muhammad Atha yang menyiratkan tokoh sufistik.
Pendidikan dasar-dasar Keimanan dan Tauhid telah diserapnya dari Haji Arsyad yang merupakan kakak dari ayahnya, di usia-usia awal Bung Hatta. Suatu tradisi bahwa dalam usia 7 tahun, Hatta telah rutin mengunjungi Haji Arsyad di Batuhampar. Dalam kunjungan tersebut Hatta menerima wejangan-wejangan keagamaan, dan Hatta sempat berdialog menanyakan soal-soal yang terkait dengan keislaman. Terutama pelajaran yang diterima Hatta adalah seputar Kemaha Kuasaan Allah, Allah Pencipta Alam Semesta dan Wujud Allah.
Terkesan dengan pelajaran yang diberikan pamannya, Haji Arsyad, yang disapa Hatta dengan sebutan Ayah Gaekku, menjelaskan pelajaran yang diberikannya mudah dipahami. Soal-soal berat yang berhubungan dengan Tauhid: Kemaha Esaan Allah, Kekuasaan Allah, Allah Pencipta Alam Semesta diuraikan dengan baik dan bahasa yang mudah dimengerti.
“ Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, Tuhan seru sekalian alam. Allah menjadikan segala yang ada di alam dan di langit. Allah memberi kita rezeki. Sebab itu kita harus berterima kasih pada Allah. Balas kasih Allah pada kita itu dengan mengasihi orang lain. Dan Allah nanti membalas pula budi kita itu dengan melimpah. Dan tiori yang diajarkannya itu kulihat dipraktikkannya dengan perbuatan,” ujar Hatta, seperti ditulis M. Fazil Pamungkas dalam Historia.id, (2/12/ 2020).
Hatta juga mendiskusikan pengetahuan yang diperolehnya dari orang lain dan meminta tanggapam dari Ayah Gaeknya (Haji Arsyad). Melalui pemahaman yang berbeda tersebut Hatta dapat menyimpulkan mana pendapat yang benar dan yang kuat argumennya. Dan Hatta mengaku bertambah pengetahuannya dari Ayah Gaeknya itu.
Hatta juga menimba pengetahuan agama dari dua orang tokoh pembaharu Minangkabau, yaitu Syaikh Muhammad Djamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad.
Dari latar belakang keluarga sufistik ini, mengutip analisa Yudi Latif, perilaku keagamaan Hatta merupakan tradisi sufistik yang menekankan laku, ketimbang aspek formalisme -ritualisme. Menurut Yudi, tradisi keagamaaan Hatta dibantu oleh ekspresi tasawuf yang lebih menekankan pada aspek kerohanian ketimbang aspek-aspek formalistik. Inilah yang menjadikan Hatta tumbuh menjadi seorang yang berkeyakinan keagamaan kuat, tamsilnya seperti garam dan gincu.Yudi, dengan mengutip Hatta mengungkapkan, ekspresi keagamaan Hatta seumpama garam, dan bukan gincu. Kalau gincu orang tahu dan bisa melihat dari kejauhan warna gincunya, tapi kalau garam, orang tidak bisa melihat seperti apa keagamaan kita, tapi rasa dan manfaatnya bisa dirasakan oleh semua orang.
Menelusuri ekspresi keaagamaan Hatta beberapa aspek di antaranya bisa kita pahami yang dikutip dalam bukunya Ilmu dan Agama ( Yayasan Idayu, Jakarta, 1980). Menyinggung masalah kepercayaan, Hatta menulis, agama merupakan kepercayaan yang mutlak. Berdasarkan kebenaran yang tidak bisa dibantah.Yang pokok dalam agama adalah Tuhan dan peraturan Tuhan. Kalau kita pelajari apa yang diumumkan oleh agama, maka pastilah, bahwa tujuan didikan Tuhan kepada kita ialah berbuat baik, berbuat keadilan dalam dunia ini, sebagai jenjang buat kembali ke akhirat. Kita harus berbuat baik, berbuat keadilan melaksanakan perintah Tuhan. Tuhan itu absolut. Ada selama-lamanya, tidak terbatas, dan perintah Tuhan itu kita jalankan. Tuhan tidak bisa disamai. Tidak bisa diadakan tuhan-tuhanan. Islam hanya satu Tuhannya. Tidak dua, tiga, tapi satu.
Hatta melanjutkan, kalau kita pikirkan dalam- dalam, maka tujuan agama ialah mencari keselamatan, damai dunia dan akhirat. Dan kewajiban kita dalam dunia ini ialah berbuat baik. Di dunia ini kita melakukan amal buat akhirat. Jadi kalau kita dapat melaksanakan amal kita di dunia ini sebaik-baiknya, di akhirat pun kita akan terjamin. Tugas kita ialah di dunia ini, tidak hanya buat akhirat saja, tapi juga berbuat baik di dunia ini. Amal ialah jalan ke akhirat. Oleh karena itu keselamatan di dunia ini, memudahkan jalan kita ke akhirat.
Bila melihat pemahamaan Bung Hatta mengenai agama ini tampak dengan jelas pemahamannya lugas, mudah dan tidak nyelimet. Tidak banyak bertanya dan menggugat, langsung diamalkan dan dijalankan perintah Tuhan. Anjuran beramal baik tujuannya untuk mendapatkan kehidupan yang baik pula di akhirat.
Kemudian Bung Hatta juga berbicara bahwa semua manusia sama di mata Tuhan. Ia menulis, bagi Tuhan kita semua sama. Tidak ada yang kaya atau miskin. Sementara di dunia kita dibedakan. Yang kaya, malahan diberi kedudukan yang tinggi. Tapi bagi Tuhan sama saja.
Bergantung pada amal hidupnya di dunia ini. Kalau amalnya baik di dunia, mendapat kedudukan yang baik pula nanti di akhirat. Begitu sebaliknya. Jadi tugas kita ialah, sebelum menempuh jalan ke akhirat, berbuatlah amal yang sebaik-baiknya supaya umat Tuhan yang sama di dunia ini mendapat pembagian yang sama. Kekayaan alam, bumi ini dibuat oleh Tuhan buat membantu hidup manusia. Janganlah hanya sebagian saja yang menikmati dunia ini. Sebagian lagi kelaparan. Itu tidak boleh, sebab Tuhan yang punya dunia ini. Kalau kita meninggal apa yang kita bawa ke akhirat, tidak lebih dari kain kapan yang membalut badan kita. Harta-harta yang terkumpulkan ditinggalkan buat orang yang hidup di dunia.
Hatta juga menunjukkan ibadah haji yang menunjukkan perlakuan yang sama terhadap manusia, meskipun kedudukan mereka dalam kehidupan di dunia berbeda-beda. Kalau kita pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji, di padang pasir yang luas, semua berpakaian yang sama berwarna putih, kainnya tidak dijahit dan sebagainya. Pendek kata pakaian sama.
Apakah dia itu raja atau kadam, semua di sana berpakaian yang sama. Tidak berbeda-beda. Karena itu kenapa kita harus membeda-bedakan yang kaya dan yang miskin. Kalau kita masuk ke masjid, tidak akan ditanya, apakah kita orang kaya atau miskin. Siapa yang datang lebih dulu, carilah tempat yang lebih baik.Sekarang sering terjadi pembesar-pembesar, diberi tempat yang baik. Tapi itu tidak wajib. Kita tidak wajib menyediakan tempat yang paling baik bagi orang yang kaya, orang yang berpangkat. Di masjid itu semuanya sama . Semuanya mengikuti imam. Imam kita saat sembahyang itu yang kita ikut, sama-sama menyembah Tuhan. Jadi dalam Islam, di mata Tuhan tidak ada perbedaan derajat. Yang beda adalah antara Tuhan dan umatnya. Tuhan itu Maha Tinggi. Tidak bisa kita samai, kalau kita simpulkan, sebenarnya agama memerintahkan kepada kita supaya di dunia ini selamat dan damai.
Setelah memaknai ajaran dan ibadah Islam, Bung Hatta menyimpulkan, dalam pelajaran saya yang tidak begitu mendalam, saya mempunyai keyakinan bahwa hukum yang setinggi-tinggi dan pokok dalam Islam itu ialah damai, damai yang utama.
Bung Hatta mencontohkan dalam kehidupan , orang miskin yang jumlahnya banyak dan hidup dari meminta-minta jangan diharap akan taat beragama. Mereka malahan menyumpah-nyumpah dengan kemiskinannya dan menyalahkan Tuhan menerima nasibnya yang miskin. Oleh karena itulah Hatta menjelaskan dalam Islam adanya kewajibkan mengeluarkan atau membayar zakat untuk orang miskin yang yang tidak kebagian harta dalam hidupnya. Menurut Hatta, setiap orang berbeda pengetahuan dan kecakapan dalam mencari harta. Oleh karena itu jangan mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada nasib orang lain.
Agaknya, Hatta melihat dalam ajaran zakat itu untuk menghindari ketimpangan sosial yang bisa memicu konflik dalam masyarakat karena faktor kecemburuan. Jika ajaran zakat bisa berjalan maka akan tercipta kedamaian dan kerukunan dalam masyarakat.
Sebuah contoh menarik Hatta membuat perbadingan dalam kehidupan masyarakat Barat. Di negara yang tidak menganut agama Islam tersebut sangat memperhatikan keadilan sosial. Yaitu setiap orang yang sudah berusia 65 tahun baik itu petani, pegawai, bankir dan lainnya diberikan uang pensiun oleh negara untuk sisa hidupnya. Uang tersebut terserah mau digunakan atau tidak. Apa dasar pertimbangannya, karena orang tersebut dianggap telah berjasa bagi kepentingan masyarakat, apapun pekerjaannya dahulu. Sementara kita membiarkan orang terlantar, tidak bisa hidup secara baik, walaupun kita mengaku beragama Islam. Karena itulah selayaknya ajaran Islam dilaksanakan dengan baik.
Hatta juga menunjukkan tujuan ibadah dalam Islam untuk kedamaian. Dalam tulisannya Islam Mencapai Masyarakat Bahagia ( Panji Masyarakat 7Oktober 1998), kita paparkan pendapat Hatta. Ia mengatakan, Islam itu artinya damai , bukan hanya dalam ibadah, dalam salamnya orang Islam mengucapkan damai. Damai bagi segala umat manusia. Dan damai pulalah hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam. Sebab keadilan hidup baru tercapai, apabila tiap -tiap orang tentram hatinya, jiwanya dikuasai oleh perasaan damai terhadap keadaannya dari alam sekitarnya.
Menurut Hatta, hanya dunia yang damai berdasarkan persaudaraan antara segala manusia dapat menimbulkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam masyarakat. Dan sebenarnya didikan Islam adalah didikan damai.
Seterusnya Hatta menunjukkan tujuan ibadah agar kita sepenuhnya mengenal atau makrifat kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan Seru Sekalian Alam. Sembahyang yang kita lakukan lima kali sehari dengan muka dan jiwa yang bersih, karena hanya dengan begitu kita dapat berhadapan dengan Allah, tempat kita mencurahkan seluruh isi jiwa kita, yang tidak putus-putusnya memuji kebesaran-Nya.
Sewaktu kita akan menghadap Allah, hati kita harus suci, bebas dari segala perasaan buruk dan niat jahat, bebas dari pada amarah. Semuanya ini terkias pada cara mengambil wuduk, yang ditetapkan dalam agama. Sungguhpun badan telah bersih sesudah mandi, namun anggota-anggota tubuh dicuci juga. Supaya mulut bersih dari pada ucapan-ucapan yang keji, muka bersih sebagai cermin hati, tangan bersih dari pada memegang yang tak halal, telinga bersih dari pada mendengar fitnah, hasutan dan yang tidak baik, kening bersih mencahayakan kalbu yang terang, kaki bersih dari jalan yang serong. Sembahyang kita sudahi pula dengan mengucapkan assalamu’alaikum ke kanan dan ke kiri, menghaturkan damai kepada semuanya, kepada sekitar alam.
Selanjutnya Hatta menulis, setiap hari kita melatih diri untuk menguasai hawa nafsu dan mengontrol diri sendiri, untuk menanamkan dalam jiwa kita perasaan suci dan murni. Tetapi sayang, tidak selalu kita insaf akan segala yang kita perbuat itu. Sering kita melakukan ibadat menurut kebiasaan saja dan lupa, yang sebenarnya kita melakukan latihan rohani dan jasmani di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu ada baiknya, sewaktu waktu kita renungkan dengan penuh keinsafan betapa tegasnya pimpinan yang diberikan Islam kepada kita. Yaitu Islam memimpin kita ke jalan damai, mengajar kita berhati sabar, tetapi semuanya di atas kebenaran dan keadilan. Karena, hanya kebenaran dan keadilanlah yang dapat menimbulkan suasana damai. Sebab itu mencari kebenaran dan menuntut keadilan yang utama bagi umat Islam.
Ikhtisar
Mencermati pemikiran keagamaan dan keislaman Muhammad Hatta kita dapat memetik beberapa poin penting dan pelajaran yang berharga.
Hatta memahami ajaran Islam dengan cara yang mudah dan mengamalkan secara langsung, tanpa banyak memberikan pemahaman yang nyelimet dan rumit. Sebagai permisalan, kalau kita ingat cerita umat Nabi Musa ketika diperintahkan memotong sapi betina (al-Baqarah ayat 67), lalu banyak bertanya tetang detil perincian kambing tersebut, akhirnya menjadikan mereka mendapat beban yang berat untuk mencari kambing. Padahal, kalau perintah tersebut langsung dijalankan pekerjaannya menjadi mudah.
Bung Hatta memahami Islam dan menjalankan ibadah dengan pendekatan tasawuf dan sufistik, dan merasakan kedekatan dan kehadiran Allah dalam ibadahnya. John Ingleson menyebutkan, Hatta dilahirkan dalam keluarga Islam yang kuat, yang sampai akhir hayatnya tetap teguh pada kepercayaan agamanya. Kepercayaan agamanya yang sederhana tetapi sangat intelektual menganggap, mewujudkan orde sosial dan ekonomi yang adil sebagai bagian dari keinginan Tuhan (Prisma nomor 1 Januari l982 hal.64).
Bung Hatta menyadari dan meyakini bahwa Islam penekanan utama ajarannya untuk membawa perdamaian, keselamatan dan kesejahteraan.
Bung Hatta melihat ajaran Islam menekankan pada persamaan manusia, tidak melihat pada kaya atau miskin dan lainnya, namun pada keimanan dan amal shalehnya kepada Allah yang akan menentukan derajatnya di mata Allah dan baik buruk kehidupannya nanti di alam barzakh dan akhirat Bung Hatta menganjurkan pentingnya mengeluarkan zakat dari orang kaya pada orang miskin sebagai kewajiban, dan untuk menciptakan hidup yang damai, mencegah kecemburuan sosial dan menghilangkan sikap egoisme hanya mementingkan diri sendiri.
Bung Hatta meyakini bahwa kekayaan alam dan kandungannya yang ada di bumi ini adalah milik Allah, karena itu yang menikmati haruslah semua manusia, dan jangan hanya menjadi milik kalangan tertentu yang memperoleh kesejahteraan, sementara ada yang hidup dalam kesusahan, kelaparan dan penderitaan.
Hatta dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan tidak memikirkan resiko, namun sabar dan bertawakkal kepada Allah. Dengan dasar keimanan yang kuat kepada Allah itu maka tiada yang ditakuti menerima cobaan apapun, karena yakin Allah bersama orang-orang yang sabar dan bertawakkal. Konsep ini mungkin bisa menjelaskan komitmen Hatta terus berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, meski berulangkali mendapat hukuman, siksaan dan kezholiman dari pemerintah kolonial.
Demikianlah Bung Hatta meninggalkan legacy akhlak, integritas, perjuangan untuk bangsa, nilai amalan dan ibadah agama yang sulit dicari contohnya, baik tokoh yang sudah tiada, maupun dari tokoh yang masih hidup. Selamat beristirahat dengan tenang Bung Hatta, semoga suri tauladan Bapak menjadi suri tauladan abadi bagi bangsa Indonesia dan umat manusia.