Bisakah Membangun Tempat Ibadah yang Agung di Bali

0
29
- Advertisement -

 

Kolom Masrur Makmur Latanro
Pengusaha, Penulis dan Pembelajar

Email Durkhaim penulis buku Sosiologi berjudul L’Année Sociologique. Beliau menyebut istilah solodarity yaitu mengakui keberadaan komunitas lain berbaur dalam komunitasnya.

Ada tumbuhan anggrek atau paku-pakuan bisa nebeng pada tumbuhan lain. Mereka hidup berdamai dalam kontek simbiosis mutualisme. Ada pula, anjing dan kucing bisa rukun dalam 1 rumah. Apalagi manusia pasti bisa hidup berdampingan. Diatas toleransi ada Akseptasi yang menjadi perekat kohesi sosial dalam lintas komunitas. Akseptasi itu menerima out group kedalam in group sehingga tercipta solidaritas persaudaraan, yaitu ukhuwah insaniah.

Beberapa tahun lalu saya di masjid Huaizheng Guangzhou dibangun
abad 6. Menara masjidnya dijadikan sebagai mercusuar kapal-kapal yang melintas di sungai Guangzhou. Pada kesempatan yang lain kami juga menyempatkan diri solat Jumat di Baitul Futuh London yang bisa menampung 13 ribu jamaah. Atau masjid Lakemba, Sydney mampu menampung 5000 jamaah. Ada masjid Klang di Bangkok atau Tajmahal di India. Sebagai pertanda umat Islam bisa diterima dimana-mana dengan sikap toleran itu.

Kalau kami orang Sulawesi ada Prof Matulada, pakar budaya Sulawesi pernah berkata: bawalah 3 huruf U jika merantau ke kampung orang: Ujung Lidah dengan bergaul, Ujung Pena dengan berdiplomasi
Ujung Lelaki bila kedua U diatas mampet.

Berarti ketika umat Islam menanamkan sikap inklusifitas dalam beragama terciptalah toleransi. Dari sikap tolensi mewujudkan sikap akseptasi. Dan pada akhirnya lahirlah menyame braye,menganggap pendatang sebagai saudara sendiri. Ketika berada pada tataran ini seakan muncul kata-kata perlakukanlah Bali seolah kampung kelahiranmu.

Jawaban saya atas pertanyaan Ust Ahmadi

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here