Kolom Fiam Mustamin
Tahun ini, Indonesia merayakan 80 tahun Kemerdekaan dengan gegap gempita dan semangat kegembiraan, tepat pada 17 Agustus 2025. Namun, di tengah perayaan itu, sudah semestinya kita melakukan renungan kontemplatif: Apa makna sejati dari Kemerdekaan Bangsa seperti yang diamanatkan dalam Konstitusi? Sejauh mana realisasinya benar-benar terasa oleh seluruh rakyat?
Karena itu, penting bagi pemerintah untuk memfasilitasi forum yang mempertemukan para pemuka adat dan tokoh pemahaman kebangsaan dalam suatu sarasehan atau bentuk majelis lainnya. Output dari forum tersebut harus diformulasikan menjadi kebijakan publik, bukan hanya sebatas tafsir birokrasi yang sepihak.
Harmoni Kehidupan Etnis Nusantara
Apa nilai dasar dari kehidupan harmonis masyarakat etnis di nusantara ini?
Pertanyaan tersebut semestinya menjadi perhatian utama negara dalam mengelola pemerintahan di tengah keberagaman etnis di ribuan pulau.
Dalam kehidupan masyarakat etnis, terdapat kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu—ratusan tahun pengalaman dalam tata kelola hidup berkaum, bertani, berburu, berdagang, hingga berlayar. Ini adalah referensi kearifan warisan peradaban.
Apakah Warisan Itu Terjaga atau Dimatikan?
Warisan budaya dan kearifan lokal seharusnya tetap hidup dan diberdayakan secara kontekstual di setiap daerah. Jangan diseragamkan melalui kekuasaan terpusat, karena di sinilah awal bencana berbangsa dimulai:
Hilangnya otoritas pemangku adat di wilayahnya sendiri.
Kekuasaan telah berpindah ke tangan kepala pemerintahan yang dikendalikan oleh komando pusat. Maka, muncul pertanyaan penting: Apa yang masih bisa kita lakukan untuk memulihkan tata kelola pemerintahan yang sesuai dengan jiwa bangsa ini?
Hidupkan Kearifan Lokal untuk Membangun Bangsa
Tujuh daerah dapat menjadi rujukan dalam merumuskan model harmoni kehidupan berbangsa: Hasta Brata di Jawa, Tri Hasta Kirana di Bali, Binokasih di Sunda, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Minangkabau, Eppa Sulapa Namappanre’ ri Dewata Seuwae di Bugis-Makassar, Pela Gandong – Lawamena Haulala di Maluku dan Satu Tiga Batu di Papua.
Ketujuh simbol narasi budaya tersebut mencerminkan nilai-nilai dasar yang sangat relevan: Solidaritas, Gotong Royong, dan Ketangguhan dalam Ketaatan.