Kolom Bachtiar Adnan Kusuma
Jurnalis Panjimas, 1989–1995
Buya Hamka, atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah, memang telah wafat pada 24 Juli 1981. Namun, karya-karyanya tetap hidup dan terus menginspirasi. Sebut saja Tafsir Al-Azhar yang tebalnya mencapai 9.000 halaman, sebuah mahakarya yang justru diselesaikan saat beliau berada di penjara.
Menariknya, jika Tafsir Al-Azhar itu selesai ketika beliau berusia 74 tahun, berarti Hamka rata-rata menulis dua halaman setiap hari. Sebuah konsistensi yang luar biasa.
Hamka, menurut K.H. E.Z. Muttaqien, memenuhi sabda Rasulullah: “Seorang mukmin tidak pernah kenyang melakukan kebaikan, kecuali ketika dirinya telah memasuki surga.”
Apa yang membuat Buya Hamka begitu istimewa? Selain karena beliau tidak tamat sekolah dasar tetapi berhasil meraih gelar doktor dan profesor berkat kemampuannya yang otodidak, Hamka juga dikenal sebagai pemikir, sosiolog, ulama, penulis, jurnalis, sekaligus sastrawan. Ratusan bukunya bukan hanya dikenal luas di Indonesia, tetapi juga di Malaysia dan Singapura.
Buku-bukunya tetap hidup, seolah Buya Hamka sendiri tak pernah pergi. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Ayahku, Tasawuf Modern, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, hingga Di Tepi Sungai Dajlah.
Saya bersyukur pernah mendapatkan kesempatan untuk mengabdi dan berkarya di majalah yang didirikan Buya Hamka, Panji Masyarakat. Meski tidak sempat menjadi saksi hidup beliau, saya beruntung bisa berinteraksi langsung dengan putranya, H.M. Rusjdi Hamka, yang waktu itu menjadi Pimpinan Redaksi Majalah Panjimas. Beberapa kali Rusjdi Hamka mengajak saya berkunjung ke rumahnya di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Dari beliau saya banyak belajar, bukan hanya tentang dunia jurnalistik, tetapi juga tentang keulamaan dan politik. Terima kasih saya haturkan kepada almarhum H.M. Rusjdi Hamka, yang telah memberi saya kesempatan untuk menimba ilmu dan pengalaman di Panji Masyarakat pada 1988–1995.
Aku ingin seperti Buya Hamka: walau raganya telah tiada, karya-karyanya tetap hidup. Karena itu, menulislah untuk dikenang; abadi dalam keabadian.